Jakarta, CNN Indonesia -- Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi International Labor Organization Nomor 188 tahun 2007 tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan. Ratifikasi tersebut dapat melindungi Anak Buah Kapal (ABK) dari tindak kekerasan.
"Pasal 8 ayat 2 b Konvensi ILO 188, kapten kapal wajib mengelola awak kapal dengan cara yang menghormati keselamatan dan kesehatan, termasuk mencegah rasa letih," kata Juru Bicara SPILN Imam Syafi'i ketika dihubungi CNN Indonesia, Rabu (8/4). Dengan meratifikasi konvensi tersebut, kapten kapal wajib memenuhi hak-hak anak buahnya.
"Miris sekali, ketika lagi, lagi dan lagi mendengar kabar di pemberitaan terkait penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai pelaut perikanan seakan (diperbudak) tak ada henti-hentinya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imam bercerita, kabar tindak kekerasan mutakhir datang dari seorang pekerja kapal asal Gorontalo, Arlan Mobilingo. "Arlan menjadi korban kekerasan di atas kapal MV. Luanda 1 di Angola, Afrika bagian barat daya," katanya.
Saat itu, Arlan tengah mencari duit melalui PT. Kimco Citra Mandiri sejak Oktober 2014 lalu. Arlan kepada Imam mengadu telah disiksa oleh kapten kapal bernama 장 삭 근 (Jang Sak Geun) hingga telinganya berdarah. Kekerasan dialami Arlan bukan hanya sekali.
"Air di kapal yang digunakan untuk mandi tumpah, dan kapten menuduh kalau Arlan yang menumpahkannya," kata Imam mengutip ucapan Arlan. Arlan berharap ada tindakan tegas untuk kapten asal Korea Selatan tersebut.
Merujuk catatan SPILN, kasus kekerasan serupa pernah terjadi pada tahun 2012 silam di Trinidad and Tobago dan Abidjan. Sebanyak 203 WNI yang bekerja sebagai pelaut ditelantarkan oleh perusahaan Taiwan. Terlebih, mereka diperlakukan tak manusiawi dengan makanan yang tidak layak, pembatasan komunikasi, dan tak diberi upah selama tiga tahun.
Sementara itu, kasus mutakhir ihwal perbudakan dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PT PBR). Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menuturkan terjadi sejumlah modus perbudakan yang dinilai melanggar HAM. Kegiatan perbudakan biasanya terjadi di tempat yang sulit dijangkau baik melalui akses transportasi maupun komunikasi.
PT PBR mempekerjakan 1.128 ABK asing dari empat negara dengan rincian 745 orang ABK merupakan warga negara Thailand, 316 ABK warga negara Myanmar, 58 warga negara Kamboja dan 8 orang berkewarganegaraan Laos. Saat ini, 322 orang ABK telah dievakuasi dari Benjina ke pelabuhan Tual Maluku untuk diperiksa lebih lanjut dan dipulangkan.