Jakarta, CNN Indonesia -- Mulyadi, lelaki berusia 52 tahun asal Pondok Cabe Jakarta Selatan, mengaku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Beralas jaket, dia berbaring di lantai ruang tunggu pasien Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Sang istri dengan setia mengurut paha dan kaki Mulyadi, berharap dapat menghentikan rintihan pasangannya.
Mulyadi mengeluh nyeri di bagian panggul. Rasa sakit sudah tidak tertahankan hingga anaknya, Suci (28), memutuskan untuk membawa ke RSUP Fatmawati. Dari Pondok Cabe, Jakarta Selatan, Mulyadi tiba di RS Fatmawati pukul 5 pagi, Jumat medio Maret lalu. Setelah menunggu dua jam, dia baru tahu bahwa dokter poliklinik orthopedi tidak berpraktik hari itu.
“Ternyata dokternya baru praktik hari Rabu. Ini pertama kali saya ke sini, makanya tidak tahu. Tadi dari rumah sudah telepon, tidak ada yang angkat,” kata Suci kepada CNN Indonesia saat ditemui di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka lantas kembali ke rumah. Namun karena khawatir dengan kondisi sang ayah yang terus mengeluh sakit, Suci kembali ke RSUP Fatmawati dengan membawa ayah dan ibunya pukul 13.00 WIB. Kali ini, dia meminta kepada RS untuk memasukan ayahnya ke Unit Gawat Darurat (UGD).
Seperti hari-hari lain, pasien membludak di RSUP Fatmawati. Ruang tunggu pasien tidak lagi memadai. Banyak pasien yang terpaksa harus duduk atau berbaring di lantai sembari menunggu tiba giliran untuk diperiksa.
“Harus diperiksa dokter umum dulu untuk dapat rujukan ke UGD. Baru nanti dokter UGD merujuk untuk ke spesialis orthopedi dan kemudian rawat inap,” tutur Suci.
Suci bersama ayah dan ibunya merupakan peserta BPJS Kesehatan golongan I Mandiri. Diceritakan Suci, RSUP Fatmawati merupakan RS rujukan dari RS tempat ayahnya berobat sebelumnya. Suci telah membawa sang ayah ke Klinik Tiga Mandiri di Pondok Cabe dan dirujuk ke RS Bhineka Bakti Husada Tangerang.
Namun dia punya pengalaman buruk di RS itu. “Ketika ayah saya sudah dirawat tujuh hari, pihak RS mengatakan kami harus keluar karena ada batas maksimal rawat inap,” katanya.
Ketika sang ayah masuk lagi ke RS, pihak RS justru mengatakan mereka harus menunggu 30 hari lagi. “Saya pertanyakan mengapa seperti itu? RS memberi solusi agar ayah saya pindah RS dan merujuk ayah ke RS Fatmawati karena katanya alatnya lebih lengkap,” kata Suci.
Jam sudah menunjukan pukul 17.30 WIB ketika Mulyadi mendapat giliran untuk diperiksa dokter umum. “Akhirnya, kami dapat rujukan ke dokter orthopedi. Mereka meminta kami kembali lagi pada Rabu depan untuk berkonsultasi,” kata Suci.
(Baca:
Sejumput Potensi Duit Hilang dalam Jaminan Kesehatan)
RSUP Fatmawati menyatakan Mulyadi tidak tergolong semi kritis atupun kritis sehingga tidak perlu dirujuk ke UGD. Dokter memberi resep obat penahan rasa sakit agar Mulyadi dapat bertahan sampai hari Rabu (18/3).
“Padahal saya lihat kondisi ayah sudah mengkhawatirkan. Kalau di RS swasta, mungkin melihat kondisi ayah seperti itu mereka akan langsung bawa ke UGD,” kata Suci.
Pada Rabu (18/3), keluarga Suci sudah bersiap. Adik Suci bahkan sengaja datang pukul 04.30 WIB ke RSUP Fatmawati untuk mengambil nomor antrean dokter poli orthopedi. Berharap mendapatkan nomor-nomor awal, ternyata dirinya mendapatkan nomor antrean ke-65.
“Tadi saya telepon adik saya jam 9, katanya baru sampai nomor antrean ke-2. RS pemerintah itu minta ampunlah. Pihak RS tahu bahwa pasiennya banyak sekali, tetapi dia tidak bisa memperbanyak fasilitas dan jumlah dokter,” kata Suci kesal.
Perjuangan Mulyadi untuk segera tahu penyakitnya dan sembuh ternyata panjang.
Kegelisahan berbeda dirasakan Yati (50), warga Bogor, Jawa Barat. Hingga Rabu pagi (18/3), jadwal operasi suaminya tak kunjung pasti. Sang suami, Dede Rahmattulah (54) menderita tumor otak.
Setelah berobat ke Puskesmas Jonggol dan Rumah Sakit MH Thamrin, Dede dirujuk ke RSUP Fatmawati. Peserta BPJS Kesehatan golongan III Mandiri ini telah tiba di Fatmawati sejak Jumat lalu (13/3). Menunggu lebih lama demi operasi gratis.
“Kata dokter bedah saraf, alatnya belum ada,” ujar Yati saat dihubungi CNN Indonesia pada Rabu (18/3).
Beberapa jam kemudian, Yati mengabari, “Sekarang alatnya sudah ada, tetapi ruangan ICU (Intensive Care Unit) penuh.”
Alhasil, Dede harus menunggu lagi. Mengejar pengobatan sampai ke Jakarta bukan hal mudah bagi Yati. Pasalnya, dibutuhkan biaya akomodasi bagi Yati dan anaknya yang menunggui pengobatan Dede. Untuk itu dia berharap operasi segera terlaksana sehingga dia sekeluarga bisa segera kembali ke Bogor.
Yati yang juga merupakan peserta BPJS Kesehatan berharap penuh tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk pengobatan Dede. “Sebelum operasi, suster meminta saya mengurus semua dokumen ke pelayanan BPJS Kesehatan di lantai dasar. Sudah saya siapkan semua. Mudah-mudahan enggak usah bayar apa-apa lagi,” kata Yati berharap.
Penghasilannya yang pas-pasan sebagai pekerja rumah tangga serta suami yang sudah tidak lagi bekerja membuat Yati menaruh harapan tinggi pada BPJS Kesehatan. “Suami sudah tidak kerja dua tahun. Berat sih kalau disuruh bayar,” tuturnya.
Dia juga mengaku taat membayar iuran BPJS Kesehatan. Setiap bulan, Yati menyisihkan uang untuk iuran BPJS Kesehatan, baru kemudian untuk kebutuhan lain.
Pasien lainnya, David (36), ternyata lebih beruntung. Warga Bandung, Jawa Barat, ini akhirnya menjalani operasi untuk penyakit hidrochepalus pada Sabtu pagi (14/3). Sebelumnya, peserta BPJS Kesehatan kelas II Mandiri itu telah menunggu kepastian selama satu hari penuh.
“Sekarang sudah di ruangan ICU untuk masa pemulihan,” kata istri David, Yani (25) kepada CNN Indonesia pada Rabu (18/3).
Yani bersyukur belum ditagih biaya apapun. Kali ini dia menjadi lebih waspada akan hak-haknya karena sebelumnya pernah punya pengalaman tidak menyenangkan.
“Sebelumnya suami dibawa berobat ke RS Umum Daerah Al-Ihsan Bandung. Sebelum operasi, kami disuruh beli selang yang harganya Rp 5,5 juta,” kata Yani bercerita.
Pihak RS mengatakan selang tidak dibayar oleh BPJS Kesehatan. Karena keberatan, Yani dan suami akhirnya pindah ke RSUP Fatmawati. Kebetulan, kartu BPJS Kesehatan mereka mencantumkan alamat mereka yang di Cileungsi, Bogor sehingga bisa dirujuk ke RS Fatmawati. Kini, Yani hanya berharap suaminya bisa sembuh tanpa membayar satu rupiah pun. Pihak RSUP Fatmawati membenarkan bahwa memang masih ada antrean panjang pasien saat hendak berobat. Andi Wahyuningsih Attas kepada CNN Indonesia mengatakan, antrean pasien disebabkan karena sistem rujukan berjenjang yang diharapkan belum berjalan dengan optimal.
"Sehingga pasien yang seharusnya bisa dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama tetap ikut antre di RS atau fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan," kata Wahyuningsih, 19 Maret lalu.
Terkait pasien yang semestinya mendapat perawatan di instalasi gawat darurat (IGD) namun masih harus antre, Wahyuningsih mengaku memiliki prosedur dalam penanganan pasien berkategori gawat. Pada prinsipnya, pelayanan IGD memiliki triase yang melihat pasien kritis dan harus yang harus dilayani secara cepat.
"Terjadi peningkatan pasien menunggu lama di IGD karena ruang perawatan yang dibutuhkan masih penuh, khususnya pasien yang butuh ICU, ICCU, NICU, PICU, dan high care unit," tutur Wahyuningsih.
Dia menjelaskan, antrean ruang perawatan terjadi lantaran hingga kini, BPJS Kesehatan masih lebih banyak bekerja sama dengan RS pemerintah yang memiliki keterbatasan ruang perawatan yang dibutuhkan. "RS swasta masih banyak yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, padahal memiliki tempat perawatan yang kosong," ujarnya.
Keterbatasan tersebut membuat pelayanan RSUP Fatmawati juga menjadi tidak optimal. Termasuk soal peemberian fasilitas kepada para peserta BPJS Kesehatan yang mengeluhkan mendapat ruang perawatan kelas 3 padahal dia membayar iuran kelas 1.
"Hal itu mungkin terjadi hanya beberapa kasus saja yang betul-betul pasiennya tidak mau dirujuk. Sedangkan RS Fatmawati sangat penuh untuk kelas 1. Tentu atas persetujuan keluarga," katanya.