Jakarta, CNN Indonesia -- Nyawa Siti Zaenab binti Duhri Rupa, tenaga terja Indonesia asal Bangkalan, Madura, akhirnya melayang di tangan algojo, Selasa (14/4). Siti mengembuskan nafas terakhir di Arab Saudi, Tanah Suci tempatnya mengadu nasib mulai 1998.
Saat ajal menjemput Siti, pemerintah Republik Indonesia sama sekali tak tahu. Kementerian Luar Negeri RI lewat konsulat di Jeddah baru mendapat informasi Siti telah tiada beberapa saat setelah eksekusi berlangsung.
Pemerintah RI pun geram. Kemlu melayangkan surat protes kepada pemerintah Saudi sore kemarin karena Saudi tidak menyampaikan notifikasi kepada perwakilan RI maupun keluarga Siti terkait waktu pelaksanaan hukuman mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi membantah anggapan pemerintah tak serius dalam berupaya menyelematkan nyawa Siti. Retno menyatakan pemerintah telah menempuh jalur hukum, diplomatik, sampai kekeluargaan untuk menolong Siti.
Tak tanggung-tanggung, tiga presiden turun tangan langsung agar Siti bisa bebas dari eksekusi mati. "Tiga Presiden sudah mengirimkan surat kepada Raja Saudi Arabia. Gus Dur, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi. Mereka sudah meminta pemerintah Saudi memfasilitasi permintaan maaf kepada keluarga korban," ujar Retno, Rabu (15/4).
Gus Dur atau Abdurrahman Wahid bahkan ketika itu menelepon langsung Raja Saudi, Abdullah bin Abdulaziz Al Saud, untuk menyelamatkan Siti. Lobi tingkat tinggi Gus Dur setidaknya dapat menunda pelaksanaan eksekusi mati.
Kepala Perwakilan RI di Riyadh dan Jeddah pun mengirimkan surat resmi kepada Emir di Mekkah dan Madinah agar keluarga korban memaafkan Siti Zainab. (Baca
Mahfudz: Kasus TKI Siti Berat, Keluarga Majikan Tak Beri Maaf)
Dari sisi hukum, pemerintah RI menunjuk pengacara, yakni Khudran Al Zahrani, untuk memberikan pendampingan hukum kepada Siti, termasuk pada tiap persidangannya. (Baca:
Kualitas Pengacara TKI Terpidana Mati Dipertanyakan)
Siti divonis qisas oleh Pengadilan Madinah pada Januari 2001 dalam kasus pembunuhan terhadap istri majikannya, Nourah binti Abdullah Duhem Al Maruba, pada 1999. Saat itu Siti sedang memasak air di dapur sebelum salat Subuh. Tiba-tiba majikan perempuannya memukul kepala Siti, menjambak, dan mencekik lehernya. Siti yang kesakitan lalu mencari pisau dan menusuk perut majikannya. (Baca:
Kronologi Siti Zaenab hingga Dihukum Mati di Saudi)
Siti kemudian ditahan di penjara umum Madinah sejak Oktober 1999. Setelah menjalani rangkaian proses hukum, Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis mati qisas kepadanya. Qisas yakni pembalasan setimpal atau ‘nyawa dibayar nyawa.’ Dalam kasus pembunuhan, keluarga korban berhak untuk meminta pembunuh dihukum mati.
Jatuhnya putusan qisas membuat pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris korban. Eksekusi mati pun saat itu ditunda, menunggu putra bungsu Nourah, Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, mencapai usia akil balig.
Sementara menunggu Walid akil balig, sejak 2001 pemerintah RI melalui Konsulat Jenderal RI terus berupaya agar Siti Zaenab dapat diampuni keluarga korban, misalnya dengan mendekati pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, terutama dari Kabilah Al Ahmadi yang merupakan suku asal suami korban.
“Namun ternyata anak korban tidak mau memberikan permaafan itu,” kata Juru Bicara Kemlu Armanata Nasir.
Hal serupa diucapkan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. “Kasus Siti memang berat karena keluarga korban sudah bertekad tidak memaafkan. Mereka menilai pembunuhan itu sadis dan punya dampak berantai,” kata politikus PKS itu.
Simak selengkapnya di FOKUS:
Nasib Siti Dipancung di SaudiMahfudz mendapat penjelasan langsung soal beratnya kasus Siti dan perkembangan advokasi hukumnya itu saat Komisi I berkunjung ke Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI Arab Saudi bulan lalu.
Menurut Mahfudz, karena keluarga korban tak memberi maaf untuk Siti, maka Kerajaan Arab Saudi dan Kedutaan Besar RI tak dapat berbuat apapun. Tawaran uang diyat (ganti rugi) dalam jumlah besar yang diajukan RI pun, Rp 2 miliar, ditolak keluarga korban.
Bulan lalu, Maret, Menlu Retno kembali menyampaikan permohonan secara langsung kepada Wakil Menteri Luar Negeri Arab Saudi untuk membantu mendekati keluar korban agar maaf dapat diberikan kepada Siti.
Apa dikata, semua upaya itu membentur dinding. Hidup Siti Zaenab pun berakhir jauh dari tanah kelahirannya.
(agk)