Eksekusi Mati, Beda Respons Jokowi atas Mary Jane-Bali Nine

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Selasa, 28 Apr 2015 06:03 WIB
Upaya untuk melepas terpidana mati dari eksekusi regu tembak terus dilakukan meski tinggal menunggu hitungan jam, di Nusakambangan.
Turut suarakan penyelamatan terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, seorang pegiat buruh menyalakan lilin di sebelah utara halaman luar Monumen Nasional, tepat di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (26/4).(CNNIndonesia/Ranny Virginia Utami)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksanaan eksekuti mati gelombang kedua hanya menunggu hitungan jam. Tetapi usaha untuk menyelamatkan para terpidana mati itu tetap dilakukan oleh negara asal terpidana masing-masing.

Tentu saja adalah hak masing-masing terpidana mati untuk mengupayakan, tidak hanya cara hukum -tetapi cara apa pun yang diperbolehkan, agar terhindar dari hukuman mati. Hukum dan diplomatik, jika terpidana mati dari luar negeri, jadi cara yang umum dipakai.

Para terpidana mati gelombang kedua yang kabarnya akan dieksekusi pada Rabu (29/4) pukul 24.00 WIB di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, mencoba kedua cara itu. Hanya saja, cara diplomatik menarik untuk dicermati karena satu hal: di titik akhir cara itu, yang memutuskan adalah orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jokowi menunjukan respons yang berbeda atas dua kasus terpidana mati, yang pertama adalah Bali Nine dan kedua Mary Jane. Keduanya sama terjerat kasus narkotik. Duo Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran adalah warga negara Australia, sedang Mary Jane warga Filipina.

Respons Jokowi atas Bali Nine, cenderung tegas dan keras. Jokowi menegaskan bahwa hukuman mati adalah menyangkut penegakan hukum, menyangkut kedaulatan bangsa yang harus dihormati, dan tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun.

Sedang untuk kasus Mary Jane, Jokowi terlihat tidak terlalu memberikan respons. Atas kasus Mary Jane, hanya bisa dilihat dari pernyataan Presiden Filipina Benigno Aquino III. Media-media internasional umumnya mengutip pernyataan Benigno yang menyebut Jokowi akan melakukan konsultasi dengan jaksa agung terkait eksekusi Mary Jane.

Sebelumnya, dilaporkan Benigno meminta bertemu dengan Jokowi di sela-sela KTT ASEAN di Kuala Lumpur, untuk meminta pengampunan atas Mary Jane . Keduanya pun bertemu di Hotel Grand Hyatt meski singkat.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Dinna Wisnu menyebut, perbedaan respons Jokowi atas kedua kasus ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan cara diplomasi yang dipilih oleh kedua negara.

“Ya cara berdiplomasi yang dipilih akan sangat menentukan respons dan keputusan sebuah negara, yang umumnya ada di tangan kepala negara,” tuturnya saat berbincang dengan CNN Indonesia, Senin (27/4) petang.

Respons Jokowi yang keras atas duo Bali Nine, ungkap Dinna, karena Perdana Menteri Australia, Tonny Abbott, memakai media sebagai alat diplomasi dengan Indonesia.

Abbott, atau petinggi Australia, tutur Dinna, banyak melontarkan pernyataan yang sebaiknya disampaikan dalam sebuah pertemuan diplomatik tertutup di mana kedua belah pihak bersepakat menjaga rahasia apa konsesi bagi masing-masing pihak atas kesepakatan yang telah dibuat.

“Ini kan Abbott bicara di media Australia menawarkan ganti tahanan Indonesia di Australia dengan duo Bali Nine, bahkan menawarkan juga sejumlah uang untuk ganti Bali Nine. Lalu juga soal Abbott yang mengungkit bantuan Australia saat tsunami Aceh dulu,” ujarnya. Yang terakhir adalah tuduhan Australia bahwa hakim pengadilan Indonesia dalam kasus Bali Nine menerima suap.

Pernyataan ini, dinilai Dinna, membuat respons Indonesia, atau Jokowi, akan sebanding nilainya dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Australia. Jokowi dan para petinggi Indonesia umumnya kembali menyebut hukuman mati soal kedaulatan bangsa. Atau hukum di Indonesia tidak mengenal transfer narapidana, atau menyebut tuduhan suap itu hanya cara Australia mengulur eksekusi warga negaranya. (Baca juga: Indonesia, Australia Bertikai Soal Tuduhan Suap Bali Nine)

Pendekatan Personal 

Filipina, terutama Presiden Benigno Aquino III, mengambil cara berbeda. Dia menghampiri langsung Indonesia dan meminta sebuah pertemuan dengan Jokowi soal Mary Jane saat di KTT ASEAN Kuala Lumpur. Bisa jadi, saat KAA, Benigno ingin bertemu dengan Jokowi untuk membicarakan hukuman mati Mary Jane. Sayang, sejak awal, pemerintah menyatakan tidak akan bersedia melakukan pembicaraan bilateral soal ini di KAA. Cara ini, yang lebih personal, ungkap Dinna, lebih pas dan mengena.

“Dalam urusan diplomasi, sering, kedekatan personal, pendekatan personal yang pas di hati, jauh lebih efektif dalam menyelesaian sebuah masalah bilateral, termasuk hukuman mati,” tuturnya.

Dinna meyakini, cara yang dilakukan oleh Benigno ini lebih mengena di hati Jokowi. Dinna menyebut, memang kedekatan Benigno dengan Jokowi belum terlihat jelas. Tetapi berdasarkan pengalamannya dalam pertemuan-pertemuan tingkat ASEAN, para delegasi akan cepat merasa akrab satu sama lain meski baru pertama bertemu. Kesamaan dalam banyak hal menjadi salah satu sebabnya, tutur Dinna.

“Pertemuan hangat, akrab, dan sopan. Bisa jadi jawaban Jokowi atas permintaan Benigno itu hanya sebatas menjaga kesopanan saja. Tetapi, tidak menutup kemungkinan ada hal lainnya,” ungkap Dinna. (Baca juga: Mary Jane Dieksekusi Besok, Presiden Filipina Temui Jokowi)

Kedekatan personal antar kepala negara, terang Dinna, menjadi kunci dalam hubungan antar negara. Dia mencontohkan terobosan perjanjian damai Israel-Palestina terjadi karena kedekatan antara Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dengan pemimpin Palestina Yasser Arafat. Keduanya pun tewas dibunuh, Rabin di tahun 1995 dan Arafat pada 2004.

Atau, contoh Dinna, adalah kedekatan antara Soekarno dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Kedekatan personal keduanya terjadi ketua seluruh dunia tidak mengakui Korea Utara, Indonesia dibawah Soekarno mengakuinya. Kedekatan itu berlangsung hingga ke keturunan keduanya.

Dalam kasus eksekusi mati ini, salah satu hal yang mesti mulai dipahami Jokowi sebagai kepala negara adalah, lanjut Dinna, bahwa dalam hubungan bilateral, jika seluruh proses hukum telah selesai, kepala negara memiliki hak prerogatif untuk memberikan pengampunan. Permohonan pengampunan yang dilakukan oleh negara lain, apalagi dilakukan langsung kepala negara dengan cara yang baik, itu bukanlah sebuah bentuk intervensi hukum atau kedaulatan bangsa. 

Permohonan pengampunan itu, dilakukan atas dasar kemanusiaan karena proses hukum telah dinyatakan selesai. Permohonan pengampunan itu, lanjut Dinna, bisa menjadi titik awal hubungan dua buah negara ke arah yang lebih baik dan menguntungkan bagi kedua pihak. (Baca juga: Pacquiao Minta Presiden Jokowi Bebaskan Mary Jane).

Baca Selengkapnya Fokus: Eksekusi Mati Kian Dekat (pit/hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER