Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengadakan pertemuan tertutup dengan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri di rumah dinasnya, di kawasan Widya Chandra, Jakarta, Senin (27/8). Pertemuan ini digelar menyusul terkuaknya fakta memilukan bahwa ribuan warga negara Indonesia bekerja secara ilegal sebagai anak buah kapal di kapal penangkap ikan berbendera asing.
Usai pertemuan itu, Susi menyatakan, silang sengkarut anak buah kapal asal Indonesia merupakan perkara menahun yang melibatkan begitu banyak pihak. "Manusia bukan barang yang diperdagangkan. Ini tidak terdengar ethical," kata Susi.
Soal carut-marut pemberian izin yang bukan baru saja terjadi ini, Susi memang menganggap anak buah kapal seolah-olah diperlakukan seperti komoditas. "Ada paper work yang tumpang tindih, SIUP agen tenaga kerja dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Lalu sertifikasi pelayaran keluar dari Kementerian Perhubungan padahal kalau perikanan seharusnya dari KKP," kata Susi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat dari sistem yang amburadul ini, Susi berkata, banyak anak buah kapal asal Indonesia tidak memiliki sertifikasi bahkan tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya. "Bagaimana bisa memiliki sertifikasi dari kementerian yang benar karena ternyata agen tenaga kerja, SIUP-nya dikeluarkan Kementerian Perdagangan," tuturnya.
Tak hanya soal izin dan sertifikasi, Susi juga menggarisbawahi ketidakhadiran negara pada penahanan-penahanan terhadap anak buah kapal asal Indonesia oleh negara lain. Padahal menurutnya, pemerintah bersikap toleran terhadap anak buah kapal penangkap ikan ilegal dari negara asing yang tertangkap di perairan Indonesia.
"ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal thailand masih ditahan di Myanmar karena tertangkap mencuri ikan. Mereka dipenjara lima sampai enam tahun, sampai sekarang belum dibebaskan," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Hanif mengakui parahnya kondisi tenaga kerja Indonesia di kapal ikan berbendera asing. Ia menuturkan, para ABK asal Indonesia memiliki hubungan dan jam kerja yang tidak jelas. Mereka juga jarang menerima upah yang dijanjikan.
"Harus ada regulasi yang lebih jelas untuk ini semua. Izin penempatan ABK keluarnya malah dari luar Kemenaker padahal ini core business kami. Ini perlu dikordinasikan," katanya.
(rdk)