Jakarta, CNN Indonesia -- Mary Jane Fiesta Veloso masih tak percaya lolos dari maut. Ketika dia dan rekan-rekannya sesama terpidana mati menuju Lapangan Tembak Limus Buntu di Nusakambangan untuk dieksekusi, Rabu dini hari (29/4), ia mendadak dihadang dan ditarik keluar dari rombongan.
"Saya kaget. Saya bersyukur sama Tuhan masih diberikan kesempatan hidup," kata Mary Jane kepada kuasa hukumnya, Ismail Muhammad di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta. Ismail menceritakan kembali kisah itu kepada CNN Indonesia, Kamis (30/4).
Kepada Ismail, Mary Jane bercerita menjelang eksekusi dia duduk di ruangan isolasi di Lapas Besi, Nusakambangan. Dia lalu mendengar pintu ruangan-ruangan dibuka satu per satu. Masing-masing terpidana melangkah keluar dari kamar mereka. Mary adalah terpidana terakhir yang dijemput oleh tim eksekutor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mary Jane kemudian berganti baju berwarna putih dan mempersiapkan diri untuk bergabung dengan iring-iringan terpidana mati. Pintu kamar Mary dibuka dan dia melangkah keluar, berjalan bersama rombongan terpidana mati menuju gerbang Lapas. Namun di tengah perjalanan, langkah Mary terhenti.
Dari kejauhan, rombongan petugas Kejaksaan Agung mendadak ramai-ramai menghambur masuk ke dalam Lapas. Mereka langsung menuju Mary.
"Mary, kamu balik lagi ke kamar ya. Eksekusi kamu ditunda," kata seorang petugas Kejaksaan kepada Mary.
Ada rasa lega yang sontak mengalir dalam diri Mary. Dia tidak menangis saat itu, namun hatinya dipenuhi perasaan syukur bahwa maut lepas menjemputnya.
Kabar penundaan eksekusi Mary berembus cepat, menyebar tak terbendung, hingga sampai ke telinga kedua orangtuanya yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju Jakarta dari Cilacap untuk naik pesawat terbang kembali ke Manila, Filipina, merelakan anak mereka kembali pada sang khalik.
"Keajaiban benar-benar datang ke anak saya," kata Celia Veloso, ibunda Mary Jane. (Baca:
Eksekusi Mary Jane Ditunda, Ibunda Teriak dan Melompat Girang)
Sementara Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Filipina Charles Jose mengatakan Tuhan mengabulkan doa mereka. "Kami lega eksekusi Mary Jane tidak dilakukan malam ini," kata Jose. (Baca:
Menteri Kehakiman Filipina Surati Jaksa Agung soal Mary Jane)
Tak takut mati
Mary Jane lolos dari maut saat ia tak lagi takut pada kematian. "Mary jauh lebih tenang menghadapi eksekusi usai bertemu dengan rohaniawannya Romo Bernhard Kieser SJ. Dia tidak lagi takut mati," kata Ismail.
Keadaan batin Mary jauh lebih baik. Dia bisa lebih menerima nasibnya hendak dieksekusi mati setelah banyak berdiskusi dengan Romo Kieser.
"Mati bisa di mana saja kalau sudah saatnya. Kalau saya bebas pun, jika sudah saatnya mati, maka bisa saja saya tertabrak mobil dan tewas seketika saat itu," kata Mary seperti diceritakan kembali oleh Ismail.
Romo Kieser tak hanya dapat menenangkan jiwa Mary Jane. Dia juga mengajari ibu dua anak itu memahami bahasa Indonesia --bahasa yang membuatnya bisa bersosialisasi dengan sesama tahanan dan penjaga di Lapas Wirogunan dan LP Besi Nusakambangan.
"Semua petugas Lapas berteman baik dengan Mary karena dia supel, santun, dan pembawaannya santai," kata Ismail.
Surat wasiat MarySebelum lolos dari eksekusi mati, Mary Jane telah menulis surat wasiat. Di dalamnya tercantum pesan dan imbauan Mary kepada perempuan Filipina agar tidak mudah percaya dengan orang lain.
"Intinya dia meminta agar perempuan Filipina berhati-hati supaya tidak terjebak ke dalam perdagangan manusia dan sindikat perdagangan narkotik," kata Ismail.
Surat tersebut diserahkan kepada Kedutaan Besar Filipina untuk disampaikan kepada jaringan buruh migran di Filipina.
Simak FOKUS:
Setelah Bedil MenyalakMenurut keterangan Komnas Perempuan RI,
Mary Jane pergi merantau ke luar negeri dari desa kelahirannya di Caudillo --sebuah desa di pinggiran kota Cabanatuan, Nueva Ecija, Filipina, di mana mata pencarian utama penduduknya adalah petani-- untuk mencari nafkah.Mary sendiri memang berasal dari keluarga petani. Orangtua Mary, Cesar dan Celia Veloso, bekerja di perkebunan gula. Sesekali mereka mengumpulkan dan menjual barang bekas. Mereka miskin dan punya anak banyak.
Dengan latar belakang itu, bekerja di luar negeri sebagai buruh migran tampak seperti masa depan paling menjanjikan bagi anak-anak keluarga Veloso. Mary Jane dan saudara-saudaranya ingin mengubah nasib dan memutus rantai kemiskinan keluarga mereka.
Namun Mary tidak berhasil melanjutkan sekolah. Dia hanya mengenyam pendidikan hingga tahap menengah pertama lalu keluar karena tidak punya biaya. Keinginan untuk membebaskan keluarga dari kemiskinan dan rasa frustasi akan 'kutukan' kemiskinan keluarga justru berujung tragis.
Suatu saat, Mary direkrut oleh tetangganya, Kristina, untuk bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga secara ilegal. Untuk ke Malaysia, Mary Jane menggadaikan motor dan ponselnya. Namun itu masih kurang untuk menutupi biaya keberangkatan sehingga gaji Mary di Malaysia menurut Kristina bakal dipotong selama tiga bulan pertama.
Tetapi setibanya di Kuala Lumpur, pekerjaan yang dijanjikan ternyata sudah tak lagi tersedia. Mary lalu diminta Kristina untuk ke Indonesia. Ia dijanjikan bakal segera dipekerjakan sekembalinya dari Indonesia.
Ketika hendak ke Indonesia, tepatnya Yogyakarta, Mary Jane dibekali uang US$500 dan diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya. Ternyata ke dalam tas itu dimasukkan pula heroin 2,6 kilogram. Begitu mendarat di Bandara Adisucipto, Mary ditangkap otoritas Indonesia.
(utd/agk)