Komnas HAM: Jokowi Harus Belajar dari Kasus Mary Jane

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Kamis, 30 Apr 2015 12:06 WIB
Komnas HAM mendorong moratorium sebelum pembatalan hukuman mati karena peradilan Indonesia dinilai belum kompeten.
Dua saudara perempuan terpidana mati Mary Jane Veloso, meninggalkan pulau nusakambangan usai mengikuti prosesi eksekusi mati melalui dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng, Rabu (29/4). (ANTARA/Idhad Zakaria)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gelombang kedua eksekusi mati telah dilakukan pada Rabu (29/4) kemarin. Satu yang paling menarik dari peristiwa itu adalah ditundanya eksekusi terhadap Mary Jane, terpidana mati asal Filipina.

Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah menilai, apa yang terjadi dalam kasus Mary Jane, harus menjadi pelajaran bagi Presiden Jokowi dalam menerapkan hukuman mati. Roichatul menegaskan sikap Komnas HAM adalah menolak hukuman mati.

“Setiap pelaksanaan hukuman mati, kami selalu mengirimkan surat ke presiden, termasuk eksekusi kemarin. Kami menolak hukuman mati,” ujarnya saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (30/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Roichatul menyebutkan ada tiga dasar yang membuat Komnas HAM menolak hukuman mati dan meminta agar hukuman mati dihapuskan.

Pertama, alumni FISIP UGM ini menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi. Dalam konstitusi kita, sebut Roichatul, hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun.

Kedua, Komnas HAM pada 2011 lalu, melakukan pemantauan terhadap proses peradilan terhadap para terpidana mati. Hasil dari pemantauan itu, sebut perempuan kelahira Temanggung ini, adalah proses peradilan itu tidak dilakukan dengan kompeten, adil dan berhati-hati.

Selain itu, ditemukan pula bahwa dalam proses peradilan itu, masih ada penyiksaan terhadap para terpidana mati tersebut. Penyiksaan dilakukan pada tahap penyilidikan dan penyidikan. Penyiksaan itu, tegas Roichatul, tidak terjadi pada terpidana mati saja, tetapi pada hampir di semua kasus.

Tidak kompeten, tidal fair dan minim kehati-hatian dalam peradilan kita, terlebih berkaitan soal hukuman mati, sebut Roichatul dibuktikan dengan kasus Mary Jane. Bahwa penudaan eksekusi terhadap dirinya, adalah buah dari peradilan kita yang kurang kompeten.

Menurut dia, dalam kasus yang menimpa warga negara asing, seringkali tidak didampingi dengan penerjemah yang kompeten. Akibatnya, peradilan itu berjalan tidak cukup fair. “Jokowi harus belajar dari kasus Mary Jane soal hukuman mati,” tegasnya.

Ketiga, berdasarkan Konvenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia, sebut Roichatul memang tidak secara eksplisit menyebut melarang hukuman mati. Tetapi, hukuman mati diterapkan dengan sangat hati-hati serta ada beberapa syarat yang meski dipenuhi sembari mendorong pembatalan hukuman mati secara bertahap.

Untuk itu, papar dia, Komnas HAM mendorong pembatalan secara bertahap hukuman mati. Menurut dia, penghapusah hukuman mati itu berkaitan dengan reformasi hukum di Indonesia, yaitu dengan perubahan HUHP dan Undang-Undang yang berkaitan dengan hukuman mati.  “Sembari melakukan reformasi hukum itu, kami mendesak moratorium hukuman mati,” ujarnya. (Baca juga: Delapan Terpidana Meninggal Pada Tembakan Pertama)

Penolakan hukuman mati dan mendesak moratorium, ujar Roichatul, bukan berarti Komnas HAM tidak mendukung perang terhadap narkotik yang dicanangkan oleh Jokowi. Komnas HAM, tegasnya, mendukung penuh perang terhadap narkotik. Hanya saja, ujar Roichatul, perang itu tidak harus mendukung hukuman mati, tetapi melalui upaya pencegahan yang harus dilakukan semua pihak terkait.

Baca juga:

Wapres Iran Minta Negara Lain Hormati Eksekusi di Indonesia

BNN Ingatkan 50 Orang Meninggal Setiap Hari karena Narkoba

FOKUS: Setelah Bedil Menyalak

(hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER