Jakarta, CNN Indonesia --
Cimahi, Jawa Barat, 1 Mei 2015. Aku Felicia Sabrina. Usiaku kini 31 tahun. Aku seorang transgender atau yang biasa disebut orang kebanyakan: Waria (wanita pria). Aku pernah menjadi buruh. Dan ternyata hidup menjadi seorang buruh tidaklah mudah, terlebih bagi waria sepertiku. Diskriminasi datang bertubi, hingga berkali lipat mendera badan dan perasaan. Ini kisahku, yang kuceritakan kepada CNN Indonesia pada akhir April lalu. Berharap pemerintah peka dan sadar adanya orang sepertiku di balik-balik tembok pabrik, tersebar di kawasan-kawasan industri di berbagai kota di Indonesia.Sekitar 2007 selepas beberapa bulan mendapat gelar sarjana akuntansi dari Universitas Brawijaya Malang, aku memulai bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik makanan bayi di kota kembang, Bandung. Kala itu, penampilanku belum sefeminin sekarang. Mungkin istilahnya, semi-feminin hanya dengan pembasah bibir dan maskara yang kupakai untuk memperindah mata. Aku masih bercelana dengan rambut yang masih terpotong pendek. Belum seperti sekarang, di mana aku telah berambut panjang dan mengenakan pakaian yang lebih terkesan feminin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sebuah perusahaan ternama itu cerita trauma bermula. Aku tak sangka, akan diperlakukan berbeda hanya karena menjadi satu-satunya waria di lingkungan pekerjaan. Pengalaman itu menggores ingatan, hingga sekarang, hari di mana aku pertama kali mau bercerita kepada media.Pengalaman tak mengenakan itu datang dari seorang atasan. Suatu hari sekitar medio 2007, dalam sebuah ruangan tertutup yang masih termasuk kawasan pabrik, kami duduk hanya berdua. Kala itu, dengan penuh basa basi ia tiba-tiba membahas soal aku dan pilihanku menjadi seorang waria. Namun selepas kalimat tanya pertama yang belum sempat aku jawab, entah apa yang ada dipikirannya, ia dengan sengaja mengeluarkan anggota tubuhnya, sembari berkata meski tak lagi terang dalam ingatan, “mungkin seperti ini yang waria mau.”
Aku kaget bukan buatan, lantas berlari sejadi-jadi. Mungkin orang lain akan berpikir bahwa semua waria suka diperlakukan begitu. Tetapi aku tidak. Bagiku, itu pelecehan seksual. Apalagi, di lingkungan kerja dan dia adalah seorang atasan. (Baca Juga: Kisah Perjuangan Hidup Mantan Buruh Lesbian)Sedih diperlakukan tak pantas oleh atasan, tak membuatku disayang banyak teman. Tindakan diskriminatif tak jarang menderaku dari kawan sesama buruh. Buruh laki-laki menjauhiku, menganggap aku bukanlah bagian dari mereka. “Kamu tidak sejenis dengan kami,” begitu kata mereka kala itu.Pada akhirnya, aku tidak tahan. Hanya tujuh bulan aku bekerja di pabrik itu. Aku keluar demi mempertahankan jati diriku sebagai waria. Aku bisa lebih bebas, berdandan seperti yang kumaui, bersolek sesuai jati diriku yang sesungguhnya, laiknya seorang perempuan.Keluar dari pabrik, aku kemudian mencoba membuka salon. Aku bersusah payah membuktikan ke masyarakat bahwa aku bisa memberikan konttribusi yang positif dengan membuka salon. Namun, banyak pihak seperti tidak melihat tujuanku. Kali ini, sebuah organisasi masyarakat yang mengaku pembela Islam menyudutkanku. Mereka menuduhku membuka salon plus-plus. Dibilangnya, aku menyediakan perempuan panggilan yang menjajakan seks. Sungguh tega! Aku tidak terima! Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku pun pindah dari lingkungan itu. (Lihat Juga: Kisah Perjuangan Hidup Mantan Buruh Lesbian)Sesungguhnya pendidikanku terhitung tinggi. Aku sarjana jurusan akuntansi dari Universitas Brawijaya, Malang. Aku ingin punya pekerjaan formal, kerja di kantor misalnya. Namun, aku sangat pesimis bisa mendapatkannnya dengan jati diriku sebagai waria. Apalagi bila sudah banyak mata memandang ketika aku melangkah masuk ke ruangan wawancara. Aku pun mundur.Hidup memang jadi jauh lebih sulit karena jalan hidup yang kupilih. Akan tetapi, aku tidak bisa melepaskan jati diriku ini. Asal tahu saja, menjadi seorang perempuan adalah perjuangan bagiku. Sudah begitu panjang proses yang aku lalui. Terutama tantangan dari keluarga yang berlatar belakang keluarga tentara. Sempat disangka sakit jiwa dan disarankan bertemu dokter jiwa, hingga akhirnya menerimaku apa adanya.Sekarang, aku membuka usaha kecil-kecilan di daerah Gado Bangkong, Cimahi, Jawa Barat. Akhirnya setelah sekian lama, aku menemukan lingkungan yang bisa menerimaku. Akhirnya masyarakat bisa melihat jerih payahku membuktikan diri bahwa aku ini bisa berguna bagi masyarakat. Akhirnya, aku tak lagi dipanggil “banci”, melainkan “ibu”.Selain fokus menjalankan usaha, kini aku juga aktif berorganisasi di lembaga swadaya masyarakat Srikandi Perintis. Srikandi Perintis bergerak di bidang pemberdayaan waria di Cimahi. Jaringannya tersebar di Jawa Barat dengan anggota mencapai ribuan waria.(Lihat Juga: Cerita Buruh Gay yang Cari Selamat)Bagiku, Srikandi Perintis penting. Sebab dengan adanya Srikandi Perintis, para waria yang berpendidikan rendah setidaknya bisa menerima pendidikan nonformal. Setidaknya,jurang pendidikan yang waria sekarang ini alami bisa dipersempit.Kami juga berikan pengetahuan soal HIV Aids agar mereka mengerti dan sadar akan cara mencegahnya. Sudah beberapa kali kami melakukan sosialisasi soal HIV Aids.Ke depannya, beribu tantangan masih menunggu kami. Yang kupertanyakan, kenapa sih di Indonesia belum ada pemerataan gender? Di Thailand misalnya, waria leluasa bekerja di kantor. Di Indonesia? Waria kerja di kantor? Itu harapan yang terlampau muluk!Menurutku, pemerintah sangat tidak mendukung LGBT, apalagi waria. Padahal mimpi kami adalah, pemerintah membuat suatu undang-undang untuk melindungi kami, kaum LGBT. Bukannya malah mengeluarkan pernyataan yang mengecam kami. Kami hanya ingin diterima.Belum Terdata PastiHari ini adalah hari buruh internasional. Namun hingga saat ini, belum ada hitungan pasti seberapa besar komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab masih banyak yang belum bersedia membuka diri soal ini. Lembaga Buruh Internasional (ILO) bersama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian tentang persepsi anggota serikat buruh tentang pekerja LGBT (lesbian, biseksual, gay, transgender). Judul penelitian ini adalah Gender Identity and Sexual Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work (PRIDE).
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT masih kerap mendapatkan diskriminasi. Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan (pada umumnya) tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat transgender, terutama waria, mengalami diskriminasi paling berat di antara semuanya. Ekspresi gender dan orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol dan menjadi pusat perhatian. Dalam banyak kasus, waria paling kesulitan mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan. Maka tak jarang, waria kerap menjadi pekerja seks komersial karena keterbasan pilihan pekerjaan tersebut.
(utd)