Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meraih status Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Tanpa Modifikasian dalam audit terbarunya yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Kanaka Puradireja Suhartono.
Status WTP tersebut diberikan terhadap laporan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk periode yang berakhir pada 31 Desember 2014. Status itu menunjukkan laporan keuangan DJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan disajikan secara wajar dalam semua hal yang material.
Posisi keuangan DJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan serta kinerja keuangan dan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut juga dinilai sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan mempublikasikan laporan neraca keuangan kami secara lengkap, minimal di dua media massa nasional. Laporan ini akan kami sampaikan ke presiden dengan tembusan dewan jaminan sosial nasional (DJSN)," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat konferensi pers di kantor BPJS Kesehatan Pusat, Cempaka Putih, Jakarta, Selasa (5/5).
Sampai dengan 31 Desember 2014, pendapatan iuran BPJS Kesehatan yaitu Rp 40,72 triliun, yang bersumber dari pemerintah, pemberi kerja dan pekerja, serta kelompok peserta bukan penerima upah. Adapun, alokasi dana cadangan teknis mencapai Rp 5,67 triliun.
Sementara itu, pengeluaran BPJS Kesehatan berupa biaya pelayanan kesehatan perorangan, seperti biaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif mencapai Rp 42,65 triliun.
BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kapitasi sebesar Rp 8,34 triliun kepada 18.437 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). "Selain itu, BPJS Kesehatan juga melakukan pembayaran sebesar Rp 34,16 triliun kepada 1.681 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan atau rumah sakit," kata Fachmi.
Biaya tersebut mencakup pembayaran sebanyak 61,7 juta kunjungan pasien rawat jalan tingkat pertama, 511.475 kasus rawat inap tingkat pertama, serta 21,3 juta kunjungan pasien rawat jalan tingkat lanjutan, serta 4,2 juta kasus rawat inap tingkat lanjutan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Tata Suntara menyatakan perlunya integrasi sistem teknologi informasi dalam pelaksanaan program JKN.
"Seharusnya ada integrasi antara sistem teknologi informasi lembaga yang satu dengan lembaga lainnya. Sistem teknologi informasi kementerian kesehatan, pusat kesehatan masyarakat, serta RS masih jalan masing-masing. Padahal, kalau berintegrasi hasilnya akan luar biasa," kata Tata.
Ia juga menyarankan agar pelayanan promotif dan preventif dapat lebih ditingkatkan. "Berapapun besaran uang BPJS Kesehatan, kalau tidak ada program promotif dan preventif, uangnya akan selalu habis untuk melayani orang sakit," kata Tata.
Lebih lanjut, Tata berpendapat perlunya penguatan pencegahan korupsi dalam pelaksanaan JKN, peningkatan peserta dari penerima upah, serta investasi BPJS Kesehatan dalam hal penelitian dan pengembangan.
(utd)