Hadi Poernomo: Kebijakan Pajak Tidak Bisa Dipidanakan

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Senin, 18 Mei 2015 16:44 WIB
Hadi Poernomo sependapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan tidak ingin seseorang dipidana lantaran kebijakan yang diterbitkan.
Bekas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Poernomo menghadiri sidang praperadilan lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/5).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Poernomo mengungkapkan kewenangan dirinya dalam mengeluarkan kebijakan terkait keberatan pajak tidak dapat menjadi obyek penyidikan tindak pidana korupsi.

Menurut Hadi, seluruh permohonan Keberatan Pajak Wajib Pajak menjadi kewenangan Dirjen Pajak, sesuai Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Termohon (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap keputusan Keberatan Pajak yang dilakukan Dirjen Pajak kecuali ada suap-menyuap atau kickback," ujar Hadi saat membacakan materi permohonan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Hadi ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Hadi mengaku bahwa JK sempat menyatakan pemerintah tidak ingin jika seseorang dipidanakan hanya karena kebijakan yang dikeluarkannya.

Selain pernyataan JK, Hadi juga mengaku mendapat dukungan atas pernyataan pimpinan KPK non-aktif, Abraham Samad. Menurut Hadi, Abraham pernah mengatakan bahwa institusinya tidak pernah mengadili atau mempersoalkan secara hukum diskresi atau kebijakan, kecuali kebijakan tersebut lahir karena ada kickback.

"Kebijakan itu sebenarnya tidak dapat dipidana, terkecuali kalau dalam mengambil kebijakan itu ditemukan adanya kickback atau suap," ujar Hadi menuturkan pernyataan Abraham pada 12 September 2013.

Atas dasar tersebut, Hadi pun meminta hakim praperadilan untuk menyatakan bahwa sengketa pajak adalah proses hukum khusus. Dalam penyelesaian Keberatan Pajak sebagaimana diatur dalam UU Perpajakan, Hadi katakan, tidak termasuk ke dalam perbuatan pidana dan wilayah pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 14 UU Tindak Pidana Korupsi.

Hadi mengajukan permohonan praperadilan terhadap KPK di PN Jakarta Selatan atas penetapan tersangka dan penyitaan yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut. Hadi sempat mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan sebelumnya, namun kemudian dicabut tanpa alasan yang jelas.

Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014 karena diduga menyalahgunakan wewenang sehingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 375 miliar dan menguntungkan pihak lain. Hadi disangka melanggar pasal 2 ayat 1 dan/atau pasal 3 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Bermula pada Juli 2003, Bank BCA mengajukan surat keberatan pengenaan pajak atas transaksi non-performing loan (NPL) atau kredit macet Rp 5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan.

Pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh mengirimkan surat pengantar risalah yang berisi keberatan atas permohonan BCA dan pernyataan menolak permohonan tersebut kepada Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak.

Pada 17 Juli 2004 atau sehari sebelum jatuh tempo bagi Dirjen Pajak untuk memberikan keputusan final atas permohonan BCA, Hadi membuat keputusan yang mengagetkan. Dia balik mengirimkan nota kepada Direktorat PPh agar mengubah kesimpulan.

Hadi meminta kesimpulan yang semula menolak agar diubah menjadi menerima seluruh keberatan. Namun, belum selesai bawahannya mengubah risalah, 18 Juli 2004, Hadi justru menerbitkan surat ketetapan pajak nihil (SKPN) sebagai tindak lanjut telah diterimanya keberatan yang diajukan BCA. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER