Saksi Ahli Sebut UU Perpajakan Bersifat Lex Specialis

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Rabu, 20 Mei 2015 14:21 WIB
Kasus perpajakan diselesaikan di pengadilan pajak. Jika ditemukan pidana, diselesaikan setelah ada putusan pengadilan pajak.
Bekas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Poernomo menghadiri sidang praperadilan lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/5).(Ranny Virginia Utami)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengandung sanksi pidana di dalam beberapa pasalnya. UU KUP yang merupakan hukum pidana administratif (administrative penal law), menurut Eva, bersifat lex specialis sehingga penerapannya lebih diutamakan dalam menyelesaikan suatu perkara pidana perpajakan.

"Secara sistematis dan logis saya kira UU tentang perpajakan harus menjadi rujukan utama dalam suatu perkara pidana (perpajakan)," ujar Eva saat memberikan keterangan sebagai ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (20/5).

Eva berpandangan bahwa setiap tindak pidana memiliki karakteristik masing-masing yang diatur di dalam undang-undang, baik itu tindakan terorisme, korupsi, perbankan atau perpajakan. Karakteristik ini yang menjadi faktor sifat lex specialis sehingga perlu dicermati dan lebih diutamakan penerapannya dalam menguji tindak pidana perkara yang terkait.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eva memberi contoh Pasal 36 UU KUP. Di dalam pasal tersebut, Eva katakan, diatur secara jelas dan tegas mengenai batasan-batasan mana yang termasuk pelanggaran pidana dan mana yang terkena sanksi administratif.

"Ketentuan Pasal 36 UU KUP, tidak usah dijelaskan lagi karena batasannya jelas. Apa yang bisa diproses dan apa yang masuk ranah UU itu bagi Petugas Pajak. Kalau bagi Wajib Pajak ada rumusan yang jelas mana yang terkena sanksi pidana dan mana yang terkena sanksi administratif," ujar Eva.

Penerapan sanksi administratif dan pidana ini, Eva katakan, diputuskan melalui Pengadilan Pajak. Eva mengklaim apabila Pengadilan Pajak sudah menangani suatu perkara terkait sengketa pajak, maka tidak bisa lagi diadili melalui pengadilan umum.

Eva tidak menampik jika seandainya di dalam sengketa pajak kemudian ditemukan satu peristiwa tindak pidana lain yang tidak berkaitan dengan perpajakan, misalnya pencucian uang, penyalahgunaan kewenangan atau korupsi, maka bisa ditindaklanjuti dengan UU yang bersangkutan. "Namun, harus diselesaikan terlebih dulu pengadilan pajak ini hingga mencapai putusan," ujar Eva.

Eva menjadi salah satu ahli yang diajukan oleh Hadi Poernomo . Menurut Hadi, lembaga antirasuah tidak berwenang memeriksa, bahkan menetapkan dirinya sebagai tersangka, atas kebijakan keberatan wajib pajak yang ia keluarkan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 sehingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 375 miliar dan menguntungkan pihak lain.

Hadi disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER