Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Kehormatan Hakim menyatakan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung Sophian terbukti melanggar kode etik lewat pemalsuan dokumen dan melakukan pertemuan dengan pihak berperkara.
"Menjatuhkan sanksi dengan sanksi berat berupa hakim non palu selama 13 bulan. Dengan ketentuan tunjangan terlapor sebagai hakim tidak dibayarkan selama terlapor menjalankan hukuman tersebut," kata Ketua Majelis Kehormatan Hakim Abbas Said saat membacakan putusan di Ruang Sidang Wiryono, Gedung Utama Mahkamah Agung, Kamis (21/5).
Majelis hakim menilai Sophian telah terbukti melakukan lebih dari satu kali pertemuan dengan terpidana korupsi bekas Kepala Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) Surabaya II Indra Iriansyah, yang kala itu masih berstatus berperkara pada kurun tahun 2010.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan keterangan saksi dalam pemeriksaan di Komisi Yudisial (KY) sebelumnya, Sophian diketahui telah memberikan pendapat atau masukan kepada Indra untuk menempuh Peninjauan Kembali (PK) atas vonis kasus yang menjeratnya.
Selain itu, Sophian telah terbukti melakukan pemalsuan dokumen untuk keperluan mengurus penikahan dengan (calon) istri ketiganya. Status Sophian menikah dengan status masih "perjaka", meski Sophian telah tercatat oleh negara menikah dengan istri pertamanya pada tahun 1983, sebelum menikah siri dengan istri keduanya pada 2003. (Baca juga:
Ngaku Perjaka, Hakim Agung Terancam Diberhentikan)
Sanksi hakim non-palu tersebut lebih ringan dari rekomendasi Komisi Yudisial untuk menjatuhkan hukuman "pemberhentian tetap tidak dengan hormat" sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D ayat (2) huruf C angka 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Majelis hakim berpendapat ada hal meringankan yang mempengaruhi pemberian sanksi terhadap Sophian. Selain telah berterus terang dan mengakui kesalahannya, hal meringankan bagi Sophian adalah masih adanya tanggungan keluarga, serta dua anak kecil.
Hakim juga mempertimbangkan alasan pengurusan dokumen yang diurus oleh orang lain, bukan oleh Sophian. "Tapi ada hal memberatkan. Terlapor telah merusak citra Mahkamah Agung sebagai seorang hakim ad hoc Tipikor pada MA," kata Abbas.
Atas perbuatannya, Majelis Kehormatan Hakim memutuskan menyatakan terlapor terbukti melanggar angka 2 poin 1 butir 1, angka 3 poin 1 butir 1, angka 2 poin 2 butir 2, angka 5 poin 1 butir 1, dan angka 10 Keptutusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim juncto Pasal 6 ayat 2 huruf a, Pasal 7 ayat 2 huruf a, Pasal 9 ayat 4 huruf a, dan Pasal 14 Peraturan bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2011 tentang Aturan Penegakkan Kode Etik.
Merasa 'Dipelintir'Usai mendengar putusan majelis hakim yang bersifat final, Sophian menghaturkan rasa terima kasih yang mendalam atas kebijakan hakim yang telah memproses persoalan kode etiknya dalam sidang majelis kehormatan hakim. (Baca juga:
Hakim Pengadilan Negeri Akui Selingkuh dan Langgar Etik)
Meski demikian, Sophian berkukuh tidak punya niatan buruk apapun terkait tuduhan pemalsuan dokumen. Dia menegaskan urusan status "perjaka" itu tak diketahui olehnya lantaran di tengah akad nikah, dia tak punya waktu mengurusi detail pernyataan dia yang kini termaktub dalam catatan penghulu.
"Tujuan saya baik. Menikahi seseorang agar tidak menggantungkan statusnya," kata Sophian.
Sementara itu, terkait dugaan pertemuan terlarang dengan Indra, Sophian tak menyangka persoalannya bakal menjadi serius. Dia mengaku tak bisa mengelak dari pertemuan dengan orang (yang kemudian) dikenalnya tanpa sengaja.
Niat hati sekadar memberikan pandangan, Indra malah melaporkan perbuatannya kepada Komisi Yudisial sebagai bentuk palanggaran kode etik seorang hakim.
"Ini pengalaman berharga bagi saya. Tak selamanya niat baik berujung pada kebaikan. Saya hanya memberikan pandangan kepada Indra sebagai teman, tapi justru dipelintir," ujarnya.
(hel/hel)