Sedikit mengenyam pendidikan modern, namun Soeharto mampu melanggengkan 32 tahun kekuasaan. Secara ilmu, hal itu mesti bisa dikaji, apa yang membuat Soeharto begitu lama memimpin, tanpa ilmu pemerintahan atau tata negara yang mumpuni secara modern.
Berasal dari keluarga Jawa, seperti diungkapkan Cak Nun, Soeharto sangat mengerti ilmu Jawa. Selama beberapa tahun bertukar pikiran dengan Soeharto di masa hidupnya, ada dua ilmu yang sempat diberitahukan kepada Cak Nun, yaitu ilmu Katuranggan dan Pratana Wangsa.
Turangga adalah kuda dalam bahasa Jawa, atau bisa disebut ilmu kuda. Kemudian makna Katuranggan adalah ilmu mengenai sifat benda, manusia, atau hewan berdasarkan bentuk fisiknya.
"Kenapa kuda? Kuda itu orang jika lihat kuda dengan bentuknya masing-masing bisa tahu seberapa cepat larinya, bagaimana ngurusnya dan bagaimana memperlakukannya serta melatihnya agar loyal," kata Cak Nun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memberikan contoh, Cak Nun merujuk pada Harmoko sebagai bentuk aplikasi Katuranggan yang dipakai Soeharto. Soeharto menempatkan Harmoko sebagai Menteri Penerangan dalam tiga periode kekuasaannya dan menjadikan Harmoko sebagai Ketua Umum Partai Golkar pertama yang berasal dari luar militer.
Harmoko menjadi contoh yang pas, sebagai seorang yang loyal dan juga ditempatkan di jabatan yang tepat oleh Soeharto. "Soeharto sangat tahu bagaimana sifat Harmoko, Ibaratnya Soeharto telanjang, Harmoko akan bilang 'bapak tampan'."
Ilmu Katuranggan tidak hanya dipakai untuk mengisi posisi menteri, melainkan berbagai kebijakan, termasuk sampai pada akhirnya ia memilih untuk berhenti dari jabatannya sebagai orang nomor satu.
Ilmu lain yang dikawinkan Soeharto dengan Katuranggan adalah ilmu Pranata Wangsa alias ilmu musim yang biasa digunakan para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri. Meski secara ilmiah sulit untuk dibuktikan, namun itulah kenyataan yang menjadi konsekuensi Soeharto begitu lestasri lima periode.
"Ini ilmu musim yang pakai Soeharto. Beliau paling tahu, jika suasana hati orang sedang seperti apa, Soeharto tahu orang itu harus dibagaimanakan. Pranata Wangsa ini yang dikawinkan dengan Katuranggan, hasilnya silahkan lihat sendiri." (Baca juga:
Kisah Eks Gubernur BI, Dipecat Sebelum Soeharto Lengser)
Aplikasi kedua ilmu itu, menurut Cak Nun sebagai contoh jatuh kepada Moerdiono yang menjadi Mensesneg juga sebagai juru bicara. Secara logika juru bicara haruslah yang lantang dan banyak bicara dengan artikulasi yang baik, sedangkan Moediono adalah kebalikannya yang cenderung kalem.
"Mengapa itu dilakukan Pak Harto? Ia berpikir semakin banyak dia ngomong, semakin banyak beban yang akan ditanggung. Dan mengapa Pak Harto pilih dia? Hanya Pak Harto yang tahu, dan untuk apa kita bertanya."
(pit)