Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini, tepat 17 tahun lalu, Soeharto turun dari kursi presiden. Setelah lebih sepekan digilas oleh protes mahasiswa, rezim yang telah berkuasa 32 tahun itu menyerah pada tuntutan reformasi. Pulang dari lawatannya ke Mesir, Soeharto menemukan republik dalam keadaan genting. Kerusuhan dan protes pecah di sekujur negeri. Mahasiswa kian hari kian nekad bertaruh nyawa untuk reformasi.
Tapi bukan cuma di dalam negeri desakan itu muncul. Dunia memasang mata untuk Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat, sekutu erat rezim Orde Baru saat menumbangkan rezim Soekarno, juga mulai balik badan. Banyak kalangan menuding bahwa desakan penumbangan rezim diam-diam didukung oleh AS. (Baca juga:
Soeharto Sampai Mati Tak Mau Bertemu Habibie)
"Sangat mungkin itu terjadi, malah saya meyakininya (desakan dari luar khususnya Amerika Serikat)," kata Emha Ainun Najib yang saat itu dipercaya Soeharto menjadi imamnya pasca lengser dari kekuasaan, kepada CNN Indonesia, Kamis (21/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas apa yang menyebabkan pihak luar begitu berkepentingan dengan lengsernya Soeharto? Di luar lingkaran eksploitasi sumber daya alam, kata Cak Nun--panggilan akrab Ainun Nadjib, negara Barat tampaknya takut dengan konfigurasi politik baru Soeharto jika ia terus bertahan menjadi kepala negara. Maklum, didorong oleh hubungan yang mulai renggang dengan faksi-faksi di tubuh militer, Soeharto menciptakan keseimbangan politik baru dengan merapat ke kekuatan Islam.
Cak Nun berkisah, bahwa sejak awal 90an, Soeharto mulai memperlihatkan kecenderungan menggerakkan Indonesia menjadi bangsa yang disegani setidaknya di Asia. Namun, bukan itu yang ditakutkan Washington DC, selain memang Indonesia adalah negara besar dalam arti sebenarnya. Cak Nun mengatakan, Barat cemas jika Soeharto menjelma menjadi 'Macan Berpeci'. (Baca juga:
Malam Jelang Kejatuhan Soeharto, Pegawai Istana Terkurung)
"Soeharto adalah Islam, sudah sangat jelas itu, tapi itu tidak menakutkan (bagi negara Barat) karena Soeharto adalah Islam Jawa. Kemudian yang mungkin membuat Amerika khawatir, adalah kemunculan Soeharto sebagai Jawa Islam, tak lagi Islam Jawa," paparnya.
Makna 'Islam Jawa' dan 'Jawa Islam' jelas berbeda. Pihak luar tidak peduli jika Soeharto membawa Indonesia menjadi Macan Asia, karena saat itu dengan 'Islam Jawa' yang dianut Soeharto tidak akan membuat 'macan' menggunakan sarung dan peci.
"Saya pakai idiom 'Jawa Islam', Dia 'Islam' tapi 'Jawa', ngerti kan maksudku? Kemudian kecenderungan Soeharto menjadi seorang 'Jawa' tapi 'Islam' mulai terlihat. Kalau macan tidak masalah, yang jadi masalah adalah saat 'macan itu berpeci dan bersarung'. Jadi, jika Soeharto menjelma jadi 'Macan Berpeci', kata Cak Nun, Barat pasti akan sangat risau. (Baca juga:
Mantap Mundur, Soeharto Rebut Pulpen dari Tangan Yusril)
Amerika Serikat saat itu, sepengetahuan Cak Nun, sangat mendukung Soeharto menjadi Macan Asia. "Silakan jadi macan, tapi jangan bagi-bagi kekuasaan dan jangan Islam (negara Islam)," ujar Cak Nun yang saat itu masuk di tim Komite Reformasi bersama Nurcholis Majid, Malik Fajar, Oetomo Dananjaya, dan S Drajat.
Jadi beban budaya yang ditanggung oleh bangsa ini, kata Cak Nun, saat Soeharto berkuasa ia memegang teguh segala pola Jawa dalam pemerintahannya. Tak bisa disalahkan, kata Cak Nun, karena memang saat itu, Soeharto sangat mengerti cara mengelola bangsa ini melalui ilmu 'Kejawaannya'. "Pak Harto memang sangat minim mendapat pendidikan tata kelola negara secara modern, tapi ia sangat tahu bagaimana mengelola negeri ini secara 'Jawa'." (Baca juga:
Fuad Bawazier: Dunia Berkonspirasi Menjatuhkan Pak Harto)Lalu, apa saja ilmu Jawa yang dipakai Soeharto?
Sedikit mengenyam pendidikan modern, namun Soeharto mampu melanggengkan 32 tahun kekuasaan. Secara ilmu, hal itu mesti bisa dikaji, apa yang membuat Soeharto begitu lama memimpin, tanpa ilmu pemerintahan atau tata negara yang mumpuni secara modern.
Berasal dari keluarga Jawa, seperti diungkapkan Cak Nun, Soeharto sangat mengerti ilmu Jawa. Selama beberapa tahun bertukar pikiran dengan Soeharto di masa hidupnya, ada dua ilmu yang sempat diberitahukan kepada Cak Nun, yaitu ilmu Katuranggan dan Pratana Wangsa.
Turangga adalah kuda dalam bahasa Jawa, atau bisa disebut ilmu kuda. Kemudian makna Katuranggan adalah ilmu mengenai sifat benda, manusia, atau hewan berdasarkan bentuk fisiknya.
"Kenapa kuda? Kuda itu orang jika lihat kuda dengan bentuknya masing-masing bisa tahu seberapa cepat larinya, bagaimana ngurusnya dan bagaimana memperlakukannya serta melatihnya agar loyal," kata Cak Nun.
Memberikan contoh, Cak Nun merujuk pada Harmoko sebagai bentuk aplikasi Katuranggan yang dipakai Soeharto. Soeharto menempatkan Harmoko sebagai Menteri Penerangan dalam tiga periode kekuasaannya dan menjadikan Harmoko sebagai Ketua Umum Partai Golkar pertama yang berasal dari luar militer.
Harmoko menjadi contoh yang pas, sebagai seorang yang loyal dan juga ditempatkan di jabatan yang tepat oleh Soeharto. "Soeharto sangat tahu bagaimana sifat Harmoko, Ibaratnya Soeharto telanjang, Harmoko akan bilang 'bapak tampan'."
Ilmu Katuranggan tidak hanya dipakai untuk mengisi posisi menteri, melainkan berbagai kebijakan, termasuk sampai pada akhirnya ia memilih untuk berhenti dari jabatannya sebagai orang nomor satu.
Ilmu lain yang dikawinkan Soeharto dengan Katuranggan adalah ilmu Pranata Wangsa alias ilmu musim yang biasa digunakan para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri. Meski secara ilmiah sulit untuk dibuktikan, namun itulah kenyataan yang menjadi konsekuensi Soeharto begitu lestasri lima periode.
"Ini ilmu musim yang pakai Soeharto. Beliau paling tahu, jika suasana hati orang sedang seperti apa, Soeharto tahu orang itu harus dibagaimanakan. Pranata Wangsa ini yang dikawinkan dengan Katuranggan, hasilnya silahkan lihat sendiri." (Baca juga:
Kisah Eks Gubernur BI, Dipecat Sebelum Soeharto Lengser)
Aplikasi kedua ilmu itu, menurut Cak Nun sebagai contoh jatuh kepada Moerdiono yang menjadi Mensesneg juga sebagai juru bicara. Secara logika juru bicara haruslah yang lantang dan banyak bicara dengan artikulasi yang baik, sedangkan Moediono adalah kebalikannya yang cenderung kalem.
"Mengapa itu dilakukan Pak Harto? Ia berpikir semakin banyak dia ngomong, semakin banyak beban yang akan ditanggung. Dan mengapa Pak Harto pilih dia? Hanya Pak Harto yang tahu, dan untuk apa kita bertanya."