Jakarta, CNN Indonesia --
Dresden, Jerman, 5 April 1995.Puluhan orang berbaring di jalanan kota. Mereka membendung jalan bus yang membawa sang pemimpin Orde Baru, Soeharto, dan rombongannya yang kala itu mengunjungi museum bekas Istana Zwinger. Selama 15 menit, bus yang ditumpangi sang jenderal bintang lima itu tak bergerak.
Yel-yel gunjingan menggema. Suara panci ditabuh dan terompet yang ditiup menyemarakkan aksi. Teriakan makian pun turut memanaskan situasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, para demonstran menghujat Soeharto dengan segala sumpah serapah. Begitulah ucapan para demonstran seperti diingat Sri Bintang Pamungkas, bekas Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) ketika ditemui CNN Indonesia, di Jakarta, Kamis (21/5).
Beragam selebaran juga disebarkan puluhan orang Timor-timur. Isi selebaran berbunyi, "Hey Indonesia, keluar kau dari Timor Timur, kembalikan Timor-Timur."
(Baca:Soeharto Sampai Mati Tak Mau Bertemu Habibie)
Selang beberapa hari, sejumlah artikel mencuat di media massa yang menyebutkan Bintang sebagai orang yang diduga menggalang massa. Alasannya, Bintang kala itu sedang berada di Jerman.
"Saya diberi sebuah berita oleh teman, di berita tertulis Indonesia sudah mengetahui pelaku demonstrasi di Dresden. Tapi, saya tenang saja karena bukan saya," katanya.
Murka Sang Diktator"Soeharto mengira saya akan mengkudeta," kata Sri Bintang melempar kembali ingatannya.
(Baca: Sudah Tua dan Peot, Soeharto Sempat Menolak Jadi Presiden)Sri Bintang berkeras dirinya bukanlah otak penggerak masa di kota sebelah timur Jerman tersebut. Ia yang kala itu tengah mengisi ceramah tentang ekonomi di Indonesia, tengah berhijrah dari satu kota menuju kota yang lain. "Setelah mengisi ceramah di Hannover, saya diminta mengisi ceramah di Universitas Teknik dan Universitas Humboldt di Berlin," katanya.
Rupanya, alibi ceramah tak membebaskan bekas politikus Partai Persatuan Pembangunan tersebut dari tudingan sebagai penentang Soeharto. "Soeharto marah ketika dia pulang dari Jerman, tanggal 13 April, dan ditanya seorang wartawan soal peristiwa di Dresden. Dia bilang 'orang gila'," katanya.
Tak lama setelah Soeharto kembali ke tanah air, Bintang juga mendarat. Bukan sambutan hangat yang didapat, ia justru mendapat teror bertubi-tubi. Ketika tiba di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, pupuluhan polisi mencegatnya.
(Baca: Malam Jelang Kejatuhan Soeharto, Pegawai Istana Terkurung)Tak berhenti sampai di situ, rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta, kerap dilempari bebatuan yang memecahkan kaca. Namun, Bintang tak bergeming. Ia meminta bantuan Adnan Buyung Nasution yang kala itu menjadi Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). "Ada 46 pengacara yang sukarela mendampingi saya," katanya.
Diadili di Meja HijauBintang tak bisa lari dari tudingan sang digdaya. Ia diseret ke meja hijau. Suami Ernila tersebut diadili dengan dakwaan Pasal 134, 136, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia didakwa menghina presiden.
Empat orang saksi dari pihak Bintang dan pihak kejaksaan dihadirkan di persidangan. Namun, kasus Dresden tak berdiri sendiri. Jaksa merembet ke kasus lain.
(Baca juga: Mantap Mundur, Soeharto Rebut Pulpen dari Tangan Yusril)Bintang disebut telah menyebut Soeharto sebagai diktator. "Saya cuma membetulkan saksi (Sri Basuki) yang mengatakan Soekarno lebih demokrasi dari Soeharto. Tapi jaksa mengartikan lain," katanya.
Rupanya, saksi dan bukti rekaman ceramah Bintang memperkuat dakwaan. Bintang divonis dua tahun dan 10 bulan penjara.
Tak puas, bintang mengajukan banding. Naas, majelis hakim pengadilan tinggi memperkuat vonis pengadilan negeri. Begitu pula ketika drinya mengajukan kasasi ke lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung.
"Saya mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Bertahun-tahun, baru diputus. Tahun 2006, saya dianggap tidak bersalah," katanya diikuti sebuah senyuman.
(Baca juga: Fuad Bawazier: Dunia Berkonspirasi Menjatuhkan Pak Harto)Meski diputus, perjuangan doktor teknik industri tersebut tak berhenti. Ia tetap bergerilya membuat gerakan politik untuk menggulingkan Soeharto. Pada tahun 1996, Bintang membentuk Partai Uni Demokrasi Indonesia yang diikuti pencalonan dirinya sebagai calon presiden bersama dengan Julius Usman sebagai wakil presiden.
"Saya ingin menggangu Soeharto. Ingin Soeharto jatuh. Ganyang Soeharto!" ucapnya.
Meski gagal melenggang maju ke dunia eksekutif maupun legislatif usai diberhentikan sebagai anggota DPR pada tahun 1992, Bintang tak berkecil hati. Ia tetap ingin mengubah negeri. "Saya merasa lebih baik dari Soeharto dan Habibie. Keinginan saya, memperbaiki negeri. Sistem di Indonesia telah rusak,"katanya.
(sip)