Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie tiba di kediaman Presiden Soeharto jam 8 malam tanggal 20 Mei 1998. Di beranda rumah Jalan Cendana Nomor 8, Habibie menitipkan pesan kepada ajudan Soeharto, Komisaris Besar Sutanto untuk meminta waktu bertemu.
Tak butuh waktu lama bagi Sutanto yang menjabat Kapolri periode 8 Juli 2005-30 September 2008 untuk mengantarkan jawaban Soeharto atas permintaan bertemu Habibie. "Pesan Pak Harto ke Pak Habibie, enggak mau ketemu, besok saja di Istana. Itu saja," kata pengawal pribadi Soeharto, Letnan Kolonel (Purnawirawan) TNI I Gusti Nyoman Suweden saat berbincang dengan CNN Indonesia di ruang kerjanya hari ini, Kamis (21/5).
Mendengar jawaban itu, Habibie meninggalkan Cendana. Membawa kembali surat penolakan menjadi menteri Kabinet Reformasi yang ditandatangani 14 menteri dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Harmoko. Sementara di Cendana 8 yang disulap menjadi kantor, Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid dan Yusril Ihza Mahendra tengah berkutat dengan kata, paragraf, dan kalimat untuk menyusun pidato pengunduran diri sang presiden esok pagi, 21 Mei 1998.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam percakapan satu dua kalimat antara Soeharto dan Suweden, presiden kedua Republik Indonesia itu mengatakan, "Biar sampai mati tidak mau ketemu." Ucapan itu terlontar begitu saja saat ada pembicaraan mengenai Habibie. Suweden yang cukup mengenal karakter Soeharto yang irit bicara bergeming, hanya menyimak dan merasai kekecewaan sang presiden kepada Habibie. (Baca juga:
Terbang dari Jerman untuk Menemui Soeharto, Habibie Ditolak)
Menurut Suweden, seperti yang kerap dituturkan Soeharto kepada dirinya, Habibie bagi Sang Jenderal Besar itu sudah seperti anak sendiri. Tapi karena lebih banyak diam, Soeharto tak banyak mengemukakan perasaan tentang situasi genting yang membuat dia memutuskan berhenti dari jabatan presiden dan mendiamkan banyak orang terdekatnya.
Suweden yang telah menjadi pengawal pribadi Soeharto sejak tahun 1986 hingga bosnya wafat tahun 2008 itu menggambarkan bosnya sebagai orang yang bijak dan tak meledak-ledak. Dia lebih banyak diam dan menyimpan sendiri semua persoalan yang terjadi. "Kalau sudah terlalu mengganjal baru ngomong. Itu pun cuma satu atau dua kalimat," tutur Suweden mengenang.
Di dalam rumah selepas kepergian Habibie, Soeharto memerintahkan Yusril Ihza Mahendra menyusun naskah pidato pengunduran dirinya. Soeharto menuruti Saadillah Mursjid yang membawa serta Yusril karena dianggap memiliki ilmu dan pengetahuan mumpuni mengenai hukum. "Supaya pengunduran diri beliau sesuai dengan peraturan yang ada," tutur Suweden.
Malam-malam menjelang Soeharto lengser, tamu yang datang bolak-balik ke Cendana hanya Yusril dan Mursjid. Apalagi setelah Soeharto mendengar bahwa 14 menteri menolak masuk dalam Kabinet Reformasi. Soeharto tak lagi mau membuka komunikasi dengan orang-orang yang dulu sangat dekat dengannya.
Pada pagi hari Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto beraktivitas seperti biasa. Setelah sarapan, Soeharto diantar Mercy bernomor polisi RI 1 menuju Istana Negara, Jakarta. Namun Suweden dibuat terkejut lantaran sang presiden memilih mengenakan pakaian sipil harian. "Beliau biasanya pakai jas. Saya kaget. Kok beliau pakai PSH, tapi saya tidak mungkin bertanya," ceritanya.
Tiba di Istana Negara, Soeharto melangkah menuju Ruang Jepara dan mendapati sejumlah tokoh sudah berkerumun di dalam ruangan. Di tangannya, pria kelahiran Desa Kemusuk, 8 Juni 1921, itu sudah membawa surat yang akan dibacakan di hadapan seluruh rakyat Indonesia lewat siaran televisi.
Saat itulah Suweden melihat sang presiden mencoret sendiri kata "mengundurkan diri" yang ada di dalam surat tersebut menjadi "berhenti dari jabatan saya sebagai presiden". Keputusan yang tak pernah diketahui sebelumnya oleh semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Yusril sebagai penyusun naskah pidato Soeharto.
"Akhirnya saya tahu persis beliau memang akan mundur itu ya saat beliau membacakan surat pengunduran diri itu, hari itu," kata Suweden. Pembacaan pernyataan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Soeharto berlangsung mulai pukul 09.00 WIB. Diawali salam, Soeharto membaca delapan paragraf pernyataan berhenti, "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998."
Setelah pidato singkat dan menyerahkan kepemimpinan ke tangan Habibie, Soeharto langsung meninggalkan Istana. Tak ada aktivitas mengeluarkan barang pribadi di Istana. Dia juga tak berbasa-basi dengan orang-orang yang ada di singgasananya selama 32 tahun itu.
"Mobil Mercy yang dipakai beliau dari rumah Cendana ke Istana juga langsung diserahkan ke Istana. Mobil yang dipakai Bapak berbeda antara pulang dengan berangkat, tidak lagi memakai RI 1," ujar Suweden.
Soeharto menumpang mobil Mercy cadangan untuk meninggalkan Istana karena mobil berpelat RI 1 yang biasa mengantarnya ke seluruh penjuru negeri sejak Maret 1986 telah berganti tuan. Tiba di muka rumah Jalan Cendana Nomor 10, tempat Soeharto dan keluarganya tinggal, dia disambut banyak orang.
Suweden melihat seluruh keluarga Soeharto ada di sana, termasuk anak-anaknya. Kepada mereka yang telah menanti dia keluar dari mobil cadangan RI 1 itu, Soeharto berujar, "Saya sudah tidak jadi presiden lagi."
Di mata Suweden, ucapan Soeharto hari itu sama sekali tak bernada sedih. Hari-hari setelah lengser keperabon, Soeharto banyak menghabiskan waktu di rumah. Tamu-tamu hilir mudik di Cendana, mulai politisi, pejabat pemerintah, hingga rekan sejawat. Soeharto masih tetap seperti biasa, tak banyak bicara dan bercerita.
Hingga pada suatu hari di tahun 1998, Soeharto diserang stroke. Dia makin sedikit bicara. Suweden masih menjadi satu-satunya orang yang berada dalam jarak paling dekat dengan sang mantan presiden. Dia mengurusi segala kebutuhan Soeharto dari ujung rambut sampai ujung kaki, siaga setiap waktu dibutuhkan, mulai urusan pribadi hingga dalam hal kesehatan.
Atas saran dokter yang merawat sakitnya, Soeharto diminta untuk terus menonton televisi setelah saraf otak kecil di bagian kiri belakang kepalanya terserang sakit. Tujuan dokter, agar saraf otak Soeharto tetap terlatih dan terbiasa untuk berpikir. Hal ini juga akan membantu proses penyembuhan.
Seperti hari-hari menjelang lengser, berita televisi hari itu masih meneriakan kesalahan Soeharto, penyebab krisis ekonomi, dan mengkritisi kebijakan pemerintah di bawah kekuasaannya.
"Masa iya tidak ada baiknya." kata Suweden menirukan tanggapan Soeharto atas berita televisi hari itu. "Suara Pak Harto terputus-putus saat nyeletuk begitu karena sudah stroke. Saya nelangsa dengernya," Suweden mengenang.
"Memang benar. Masa iya semua kebijakan Pak Harto negatif atau buruk. Pasti ada baiknya. Tapi yang dibicarakan sebelum sampai setelah Pak Harto lengser itu semua hal buruk, semua kritik," katanya.