Cerita Retno soal Tradisi Bullying Finansial di SMAN 3

Megiza | CNN Indonesia
Senin, 25 Mei 2015 10:26 WIB
Pemerasan tak cuma dilakukan oleh murid laki-laki, tapi juga murid perempuan. Siswa kelas X jadi target utama. Mereka harus setor duit ke kakak kelasnya.
Mantan Kepala Sekolah SMAN 3, Retno Listyarti, berbincang dengan salah satu guru SMAN 3 setelah menyelesaikan dokumen-dokumen terakhirnya sebagai Kepala Sekolah, Kamis (21/5). (CNN Indonesia/Megiza)
Jakarta, CNN Indonesia -- Retno Listyarti yang belum lama ini dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Jakarta, menyebut sekolah unggulan yang pernah dipimpinnya itu menyimpan tradisi kekerasan.

“Dulu, anak di sana tidak bisa dipegang oleh guru karena mereka mengancam akan memperkarakan para guru. Sekarang kebalikannya, gurunya sudah berani,” kata wanita kelahiran 24 Mei 1970 itu ketika ditemui CNN Indonesia, Kamis (21/5).

Kalimat tersebut tercetus dari bibir Retno saat ia menceritakan soal tradisi kekerasan di lingkungan SMAN 3 Jakarta. Retno bisa jadi satu-satunya Kepala Sekolah SMAN 3 yang berani membeberkan tradisi penindasan di lingkungan sekolah kenamaan itu.

Sebagai sekolah negeri di ibu kota, SMAN 3 memang menjadi salah satu sekolah populer. Bukan hanya karena memiliki sejarah sebagai sekolah percontohan ataupun prestasinya di bidang olahraga basket, namun sederet nama figur publik tercatat sebagai lulusan sekolah yang berlokasi di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, ini. Hal itu kian menjajarkan SMAN 3 di deretan sekolah-sekolah beken.

Nama-nama seperti Aburizal Bakrie, Adhyaksa Dault, Effendi Simbolon, hingga Krisdayanti dan Raffi Ahmad hanya segelintir orang terkenal yang pernah menghabiskan masa remajanya di sekolah ini. Beberapa bulan belakangan, nama SMAN 3 kembali menjadi sorotan.

Namun kali ini bukan karena prestasi, melainkan pengungkapan soal kekerasan yang dikoarkan sang Kepala Sekolah yang membuat nama SMAN 3 kian disimak masyarakat. (Baca: Tolak Surat Kepala Dinas Jadi Awal Pertaruhan Retno di SMAN 3)

Awal Februari, Retno mengadu ke Kepolisian setelah mendapat ancaman dari muridnya sendiri. Tak tanggung-tanggung, ancaman yang diterimanya kala itu menyebut Retno akan dibunuh. Ancaman berasal dari salah satu siswa SMAN 3 yang terlibat dalam kasus pengeroyokan seorang alumnus sekolah itu sendiri.

Lewat kejadian itu, Retno membeberkan soal tradisi kekerasan yang ada di lingkungan SMAN 3. Retno, yang baru memiliki pengalaman duduk di kursi Kepala Sekolah hanya selama sembilan bulan, mengamini tantangan mantan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lasro Marbun untuk membereskan persoalan di SMAN 3, termasuk soal budaya kekerasan yang melekat di sekolah itu.

Tantangan Kadis Marbun itu, menurut Retno, bermula dari keberhasilannya membuat transparansi pengelolaan anggaran sekolah lewat situs resmi sekolah. Retno juga mampu mengembalikan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) senilai Rp 400 juta.

“Setelah sembilan bulan jadi Kepala Sekolah, saya minta ke Pak Marbun untuk dikembalikan lagi sebagai guru. Tapi saat itu beliau bicara ke saya, meminta saya untuk membenahi SMAN 3,” ujar Retno di Ruang Guru SMAN 13, Koja, Jakarta Utara, Kamis (21/5).

Guru penyandang gelar Master dari Universitas Indonesia itu mengatakan kekerasan di SMAN 3 adalah budaya negatif di dunia pendidikan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun. Penindasan fisik hingga finansial, menurut Retno, dirasakan di setiap angkatan.

Informasi itu didapatkan Retno setelah ia membuka jalur pengaduan untuk murid-muridnya. Retno memastikan, sebelum akhirnya melakukan penindakan, dia lebih dulu akan memberikan perlindungan kepada murid yang menyampaikan aduan.

“Berbagai macam pemerasan ada di sana. Tidak hanya murid laki-laki, tapi murid perempuan pun melakukan bullying,” ujar Retno.

Retno menceritakan jenis pemerasan kebanyakan dilakukan oleh murid kelas XII terhadap murid kelas X. Misalnya, Retno menemukan ada siswi kelas XII yang meminta dibelikan lipstik seharga Rp 400 ribu kepada adik kelasnya.

Selain itu, ada juga pemalakan para senior dengan meminta dibelikan pulsa oleh juniornya. Belum lagi soal kekerasan finansial yang dilakukan oleh murid Kelas XII yang meminta dibayari makanan di ruang koperasi kepada murid kelas X.

“Jadi, misal mereka (murid Kelas X) ke koperasi dan ketemu seniornya. Itu yang junior kelas X harus ngebayarin. Jadi mereka akhirnya enggak berani beli ke koperasi. Beberapa anak akhirnya menyiapkan uang khusus untuk palakan. Lainnya lebih memilih membawa ransum ke sekolah,” kata Retno.

Di antara laporan pemerasan itu, ujar Retno, tradisi bullying yang paling parah adalah melalui penyelenggaran kegiatan musik Anttic (Anak Telada Tiga) yang digelar tiap tahunnya. Anttic yang sudah berjalan selama 10 tahun ternyata baru pertama kali membuat laporan keuangan di masa Retno duduk di kursi Kepala Sekolah.

Retno meminta laporan kegiatan Anttic untuk menindak jika ditemukan ada pungutan-pungutan liar di dalam sekolah. “Sesuai dengan edaran Kepala Dinas dan Peraturan Gubernur, saya tidak ingin ada pungutan liar. Nah, pungutan di sana luar biasa. Satu anak dipungut Rp 450 ribu untuk penyelenggaraan kegiatan, tapi mereka juga disuruh nyetor seminggu Rp 1 juta per kelas selama tiga bulan,” kata ibu tiga anak itu.

Alhasil, tradisi itu membuat konsentrasi murid-murid SMAN 3 terpecah dan melalaikan kewajiban mereka untuk fokus belajar. “Anak jadi ngamen-ngamen. Uang dikasih ke kakak kelas. Akhirnya yang terjadi, mereka enggak ada yang konsentrasi mempersiapkan ujian akhir semester dan ulangan. Konsentrasinya cari uang karena bakalan ditindas kakak kelasnya jika setoran kurang," ujar Retno.

Terlambat menyerahkan uang setoran bahkan didenda Rp 100 ribu oleh sang kakak kelas. Kebiasaan inilah yang membuat Retno murka dan akhirnya bertindak tegas untuk memutus rantai kekerasan dengan memberi skorsing selama 39 hari kepada siswa pelaku kekerasan. (meg/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER