Jakarta, CNN Indonesia -- Berani menjatuhkan hukuman skorsing selama 39 hari kepada siswanya yang ketahuan melakukan kekerasan, mau tak mau membuat Retno Listyarti dianggap sebagai Kepala Sekolah yang 'menyeramkan.' Namun ternyata sosok itu jauh berbeda dengan kesehariannya.
Pasca didera ancaman dari sejumlah pihak, beberapa kali diperiksa Kepolisian atas laporan ancaman yang diterimanya, hingga dicopot statusnya sebagai Kepala Sekolah SMAN 3, nama Retno bak momok tersendiri di kalangan sekolah menengah atas.
Ketegasannya dalam menjatuhkan hukuman kepada muridnya pada akhir Januari lalu ternyata berbuntut panjang dan berbuah risiko yang tak hanya dicecapnya sendiri. (Baca:
Tolak Surat Kepala Dinas Jadi Awal Pertaruhan Retno di SMAN 3)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak lagi duduk di kursi tertinggi di salah satu sekolah unggulan di Jakarta Selatan agaknya bukan menjadi hal penting dalam hidup Retno. Kembali duduk di bangku guru SMAN 13 usai tak lagi menyandang jabatan kepala sekolah saat ini, kehidupan Retno terasa jauh lebih tenang. (Baca:
Retno Listyarti Tak Bisa Menulis Selama Jadi Kepala Sekolah)
Duduk di tengah puluhan guru di ruang guru SMAN 13 tak menimbulkan perasaan canggung bagi Retno. Sebabnya, ruangan itu telah menjadi rumahnya selama 14 tahun, sebelum akhirnya mendapat kesempatan menjadi pemimpin di dua sekolah menengah atas lainnya.
"Hubungan saya dengan teman-teman di sini sangat baik. Semua berjalan dengan santai saja. Saya enggak ada masalah, begitu pun dengan teman-teman di sekolah ini," kata Retno saat ditemui CNN Indonesia, Kamis (21/5).
Retno menceritakan, keakraban itu dirasakannya saat hari pertama dia resmi kembali ke SMAN 13, Senin (18/5) lalu. Kala itu, bersama guru-guru lainnya, Retno menikmati makan rujak bersama.
Seperti keluarga, begitu Retno menyebut lingkungan kerjanya di sekolah yang terletak di kawasan Koja, Jakarta Utara itu. Sebutan keluarga memang layak diberikan wanita kelahiran 24 Mei 1970 ini kepada SMAN 13. Tidak hanya karena belasan tahun yang telah dilaluinya sebagai guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sana, tetapi sekolah tersebut juga menjadi tempat Retno melalui masa remajanya.
Ya, Retno memang tercatat sebagai siswa lulusan SMAN 13 pada 1989. "Saya lulusan sini. Anak saya juga baru saja lulus dari sini, dan sekarang saya kembali mengajar di sini," ujarnya, tersenyum.
Meski tak bersedih karena tidak lagi memangku jabatan tertinggi di sekolah dan merasa kehidupannya saat ini jauh lebih menenangkan, Retno sampai sekarang masih merasakan risiko dari keputusannya kala itu. Dia bercerita, suami dan salah satu anaknya sempat mengalami tekanan psikologis dari keputusan yang ia pilih beberapa bulan lalu.
"Anak saya yang pertama menanggapi kasus saya lebih main perasaan. Meski dia kuliah di jurusan psikologi, dia mengaku merasa tersakiti karena opini publik ke saya buruk sekali," kata Retno.
Dia mengatakan, Aulia Dirayati Putri, anak sulungnya itu, bahkan sempat meminta Retno tak memperpanjang perkara yang menderanya saat itu.
"Anak saya sempat bilang, bertahun-tahun berjuang tetapi malah diperlakukan seperti ini. Saya tahu benar kalau anak saya juga merasa sakit," ujar Retno.
Tak hanya anak pertamanya, suami Retno ikut merasakan tekanan atas ancaman hingga pemberitaan tentang karier Retno sebagai pendidik. "Suami saya juga termasuk yang mengalami tekanan psikologis. Dia terpukul benar, sampai-sampai tidak mau lagi membaca media massa," ujarnya.
Walau tak rela melihat orang terdekatnya tersakiti secara psikologis, Retno merasa tetap harus melanjutkan perjuangannya kala itu. Perjuangan untuk menghapuskan tradisi kekerasan di lingkungan sekolah.
Salah satu yang terus memberikan semangat kepadanya adalah Maulvi Muhamad Adib, anak kedua Retno. Meski sempat merasa terpukul, putranya itu tetap menunjukkan ketenangan dan ketegaran saat mendengar reaksi negatif tentang Retno.
"Anakku yang kedua lebih seperti aku. Dia terpukul, tapi bisa tegar. Pada awal kasus ini saya juga sempat bingung. Tapi terakhir dia yang meyakinkan saya bahwa kebenaran tidak bisa ditutupi. Dia bilang, 'Mah, pejuang itu ya harus begini. Perjuangan itu getir. Kadang kita tidak merasakan manisnya perjuangan, tapi orang lain yang merasakannya'," ujar Retno menirukan ucapan putranya.
Kini Retno yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah mengajukan gugatan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Gugatan itu dilayangkan melalui Ombudsman.
(meg/agk)