Permintaan Jokowi agar Tapol Papua Ajukan Grasi Dikecam

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Rabu, 27 Mei 2015 08:23 WIB
Anggota Komnas HAM asal Papua, Natalius Pigai, menyatakan pengajuan grasi merupakan pilihan politik tiap tahanan politik. Dorongan untuk itu diartikan rekayasa.
Presiden Jokowi memberikan berkas grasi kepada lima tahanan politik di Lapas Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu (9/5). (Antara/Hafidz Mubarak A.)
Jakarta, CNN Indonesia -- Natalius Pigai, aktivis dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia asal Paniai, Papua, mengecam permintaan Presiden Jokowi agar seluruh tahanan politik Papua yang tersisa mengajukan grasi –permohonan ampunan kepada kepala negara– agar dapat secepatnya dibebaskan. (Baca penjelasan Menko Tedjo: Jokowi akan Bebaskan Semua Tahanan Politik Papua)

“Kalau tidak mau mengajukan grasi, jangan dipaksa. Itu namanya pemaksaan. Pengajuan grasi adalah pilihan dalam konteks politik,” kata Pigai kepada CNN Indonesia, Rabu (27/5). Menurutnya, saat ini ada sekitar 60-70 tahanan politik Papua yang tersisa.

Pigai bahkan merasa pemerintah Jokowi melebih-lebihkan upaya pembebasan tahanan politik Papua itu. “Presiden terlalu gembar-gemborkan masalah ini. Padahal kami (Komnas HAM) pun sudah melakukan pembebasan bersyarat atas tahanan politik Papua. Jadi tanpa uluran tangan Presiden pun proses pembebasan sudah jalan,” ujar Pigai dengan nada keras.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses pembebasan tahanan politik tak melulu harus lewat grasi. Selama ini Komnas HAM mengupayakan pembebasan bersyarat lewat rekomendasi positif atas para tahanan politik tersebut. Pada 2014 misalnya, kata Pigai, ada belasan tahanan politik Papua yang mendapatkan pembebasan bersyarat.

“Masalah tahanan politik ini memang serius. Pembebasan bisa dilakukan lewat grasi, amnesti, atau pembebasan bersyarat. Sepanjang memenuhi persyaratan, mereka bisa bebas,” ujar Pigai.

Selasa (26/5), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan proses pembebasan tahanan politik melalui grasi dapat lebih cepat dibanding mekanisme lain seperti amnesti (penghapusan hukuman oleh kepala negara), sebab amnesti harus mengantongi persetujuan DPR dulu, tak cukup Presiden.

Namun Tedjo mengakui beberapa tahanan politik menolak mengajukan grasi karena khawatir grasi diartikan sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap tindak pidana yang disangkakan pemerintah RI.

“Prosedur grasi cepat, tapi memang seolah-olah mengakui kesalahan. Tapi bukan rasa bersalah itu yang menjadi tujuan Presiden," kata Tedjo. Menurutnya, Jokowi akan langsung merehabilitasi nama baik para tahanan politik jika mereka bersedia mengajukan grasi.

Apapun, Pigai berpendapat pembebasan tahanan politik memang kebijakan yang harus dilakukan Presiden tanpa memaksa-maksa para tahanan politik mengajukan grasi. “Jangan sampai pemberian grasi seperti rekayasa pemerintah,” ujarnya.

Untuk menangani Papua, kata Pigai, perlu suatu rancangan kebijakan yang luar biasa komprehensif, tak cukup sekadar memberikan grasi kepada tahanan politik.

“Itu kebijakan gradual dan parsial yang tidak menyentuh substansi. Misalnya ketika tahanan politik telah bebas, apakah mereka bebas berekspresi –hal yang selama ini menjadi hambatan,” ujar Pigai.

Jokowi dalam kunjungannya ke Papua awal Mei, memberikan grasi kepada lima tahanan politik Organisasi Papua Merdeka yang ditahan di Penjara Abepura, Jayapura. Mereka adalah Linus Hiluka, Numbungga, Apotnagolik, Kimanus Wenda, dan Yaprai Murib.

Pemerintah Jokowi menyatakan grasi diberikan untuk menghentikan stigma konflik yang melekat pada Papua. (Baca juga: Menhan akan Temui Pemimpin Organisasi Papua Merdeka)

Baca juga: Jokowi Hendak Kuasai Freeport, AS Diyakini Tak Diam (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER