Jakarta, CNN Indonesia -- Tak semua tahanan politik Papua mau mengikuti saran pemerintah RI untuk mengajukan grasi ke Presiden Jokowi demi kebebasan mereka. Salah satu yang menolak tawaran pengajuan grasi itu ialah Filep Karma yang dijatuhi hukuman penjara 15 tahun karena mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004.
“Bapak Filep Karma menolak grasi. Dia tidak menerima grasi. Dia mau jika diberi amnesti, tapi tidak grasi,” kata asisten Filep Karma, Ruth Naomi, kepada CNN Indonesia, Rabu (27/5).
Ada perbedaan antara grasi dan amnesti sehingga Filep hanya bersedia bebas dengan amnesti. “Kalau grasi kan (seperti) meminta maaf. Bapak tidak mau,” ujar Naomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa dikatakan Koordinator Jaringan Damai Papua, Romo Peter Neles Tebay. “Filep Karma tidak mau grasi karena menurutnya tidak perlu lagi mengakui kesalahan sebagai syarat (mengajukan grasi),” kata Neles.
Grasi ialah ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman. Grasi ini ditujukan kepada individu. Sementara amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ini ditujukan kepada orang banyak dan memerlukan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno pun menyatakan ada perbedaan antara grasi dan amnesti. Menurutnya, Selasa (26/5), mekanisme grasi dapat membebaskan tahanan politik dengan cepat karena tak membutuhkan persetujuan DPR.
Namun Tedjo pun sadar tak semua tahanan politik mau mengajukan grasi karena grasi dianggap sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap tindak pidana yang disangkakan pemerintah RI. “Prosedur grasi cepat, tapi memang seolah-olah mengakui kesalahan,” ujar Menkopolhukam.
“Tapi bukan rasa bersalah itu yang menjadi tujuan Presiden," ujar Tedjo. Oleh sebab itu, imbuh Tedjo, Jokowi berjanji untuk merehabilitasi nama baik para tahanan politik yang bersedia mengajukan grasi. (Baca juga:
Permintaan Jokowi agar Tapol Papua Ajukan Grasi Dikecam)
Situs Papuans Behind Bars yang memampang informasi tentang para tahanan politik Papua menyebut Filep Karma sebagai tahanan politik paling terkenal seantero Papua. Filep bukan hanya sekali mengibarkan bendera Bintang Kejora, tapi dua kali.
Filep Karma yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di Papua pertama kali mengibarkan Bintang Kejora pada 2 Juli 1998, tak lama usai kejatuhan rezim Soeharto. Saat itu Filep memimpin demonstrasi di Biak dan mengibarkan Bintang Kejora –simbol gerakan separatis di Papua– di menara air dekat pelabuhan selama empat hari.
Ketika itu Papua memang ramai oleh aksi unjuk rasa menyusul surat dari anggota Kongres Amerika Serikat kepada Presiden BJ Habibie yang berisi permintaan untuk meninjau kembali status Papua Barat dan Timor Timur.
Filep dikenai tuduhan makar dan dijatuhi hukuman penjara. Setelah bebas dan kembali bekerja sebagai PNS, Filep ditangkap kembali pada 1 Desember 2004 atas tudingan mengorganisasi pengibaran bendera Bintang Kejora. Lagi-lagi ia dikenai pasal makar.
Pada 2011 menjelang peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus, Filep dan beberapa tahanan politik Papua lain ditawari remisi atau pengurangan hukuman. Namun Filep menolak. Dia menyatakan hanya mau menerima pembebasan tanpa syarat disertai permintaan maaf pemerintah kepada rakyat Papua yang telah dibunuh dan ditindas.
(agk)