Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berharap, dua kepengurusan yang saat ini ada di tubuh Partai Golkar menjajaki perdamaian permanen. Ia mengatakan, partai berlambang pohon beringin tersebut membutuhkan sikap kenegarawanan dua pemimpinnya dari dua kubu yang berseberangan.
"Kami mendorong jangan hanya islah terbatas tapi islah sekaligus saja," ujar Yasonna di kantor Kemenkumham, Jakarta, Kamis (28/5).
Sebagaimana saran Komisi Pemilihan Umum, Golkar harus membentuk satu kepengurusan baru agar dapat berpartisipasi pada pemilihan kepala daerah serentak Desember mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agar saran KPU itu dipenuhi, dua kepengurusan hasil musyawarah nasional Bali dan Jakarta menurut Yasonna haru duduk harus bersama dan membagi rata seluruh jabatan dalam struktur internal partai.
Ia juga menyarankan kedua kubu sepakat menyelenggarakan munas setelah periode pendaftaran pilkada ditutup. (Baca juga:
Menghargai JK, Alasan Kubu Agung Islah Dengan Ical)
"Sekarang ini untuk pilkada, kasih dulu, ketua ini, kasih apa, terserah. Dengan catatan bulan tujuh atau bulan delapan munas. Itu kan solusi," tutur Yasonna.
Meski sudah ada rencana islah kedua kubu, Kemenkumham tidak mengurungkan langkah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam putusannya, hakim PTUN membatalkan Surat Keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar versi Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono.
"Proses hukum jalan terus karena kalau tidak, tidak akan ada penyelesaian yang tuntas," katanya. Langkah hukum ini tetap diperlukan jika nanti proses islah batal terwujud. (Baca juga:
Kubu Agung Laksono Akan Ajukan Judicial Review PKPU)
Jelang pendaftaran pilkada Juli nanti, dua kubu Golkar mulai membicarakan perdamaian. Islah ini digelar agar Golkar bisa ikut pilkada serentak. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Golkar bahkan turun tangan menemui Agung Laksono dan Aburizal Bakrie untuk membahas rencana islah.
Namun islah yang dibicarakan saat ini hanya untuk kepentingan ikut pilkada semata, bukan islah permanen untuk menentukan siapa yang dinilai sah menjadi orang nomor satu di partai politik tersebut.
(sur)