Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok Studi Mahasiwa Universitas Indonesia melakukan survei atas enam bulan kinerja pemerintahan Jokowi. Survei yang dilakukan pada April sampai Mei itu menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja pemerintahan Jokowi masih rendah.
Dari 1.036 mahasiswa yang menjadi responden, sebagian besar mendukung Jokowi merombak kabinet. "Sebanyak 74,5 persen setuju untuk mengganti menteri yang kinerjanya tidak baik," kata Ketua Umum KSM UI Oriza Sativa di Gedung Pascasarjana UI, Jakarta, Kamis (28/5).
Survei menunjukkan ada dua nama menteri dengan predikat kinerja terburuk dan tiga nama menteri dengan predikat kinerja paling memuaskan. Ukuran penilaian yang mereka lakukan menggunakan satuan Indeks Prestasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada tiga menteri yang berkinerja memuaskan dengan IP paling tinggi, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan (Susi Pudjiastuti) dengan IP 2,97, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Anies Baswedan) dengan IP 2,66 dan Menteri Perhubungan (Ignasius Jonan) dengan IP 2,52," kata Oriza.
Sementara predikat menteri dengan kategori kinerja paling buruk didapatkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno dengan IP 1,98 dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dengan IP 1,79.
Tak hanya menteri yang menjadi sasaran survei KSM UI, namun juga lembaga kementerian yang mereka nilai. Dalam survei tersebut, kementerian bidang politik, ekonomi, dan hukum mendapat predikat kinerja terburuk.
Adapun survei terhadap lembaga negara juga dilakukan KSM UI. Hasilnya, lembaga negara yang dianggap berkinerja paling baik adalah KPK dengan IP 2,43. Sementara lembaga yang dinilai mempunyai kinerja buruk menurut responden adalah Polri dengan IP 1,22.
Peringatan akademisMenurut politikus Indra J Piliang, survei KSM UI ini merupakan penilaian objektif. Ia menilai mahasiswa sudah memiliki kemampuan untuk melihat persoalan dengan baik. Di sisi lain, ia juga melihat hal ini sebagai peringatan.
"Ini peringatan akademis, bukan politis, yang kemudian bisa dipertanggungjawabkan," ujar Indra.
Ia mencoba mengungkapkan salah satu penyebab angka-angka yang dikeluarkan dalam survei tersebut masih rendah atau bahkan tidak memuaskan. Menurut Indra, hal itu disebabkan oleh adanya perubahan kelembagaan dalam beberapa kementerian atau perubahan nomenklatur.
"Kementerian yang mengalami perubahan di tingkat kelembagaan ini membawa akibat pada perubahan di tingkat SDM (sumber daya manusia) sehingga memengaruhi kinerja masing-masing menteri," ujar Indra.
Sampai saat ini pun masih ada beberapa bagian di struktur organisasi kementerian yang belum terisi. "Struktur organisasinya sudah ada, tapi orangnya, terutama pejabat eselon 1, belum ada sama sekali atau belum dipilih. Belum ditetapkan tim penilai akhir. Ada juga yang sudah ditetapkan tapi belum dilantik," kata Indra.
Hal tersebut menyebabkan ada beberapa kementerian yang harus bekerja lebih lambat, dan ada juga yang bisa langsung bekerja. "Menpan bisa langsung bekerja. Tapi dda menteri yang belum bisa seperti itu, termasuk Puan, karena nama kementerian dan struktur kementeriannya baru saja ditetapkan dan pejabatnya baru dicari sehingga baru bisa menyerap anggaran dan menjalankan projek dalam APBN," ujar Indra.
Kondisi itulah yang disebut Indra sebagai anomali karena tiap menteri tidak berada dalam kondisi yang sama-sama prima ketika disurvei.
Berbeda dengan Indra, pakar
soft skill sekaligus dosen senior UI, Taufik Baharudin, menilai dalam survei ini tidak ada anomali. Ia lebih melihat hal ini sebagai survei persepsi yang hasilnya juga menunjukkan persepsi subjektif responden terhadap orang atau lembaga yang mereka nilai.
"Persepsi itu bukan untuk dibantah. Yang dipersepsikan harus mengubah tindakan dan perilakunya agar bisa mengubah persepsi orang. Makin kencang membantahnya, makin kencang persepsi itu," kata Taufik.
Menurut Taufik, hasil survei merupakan fenomena dampak akibat. Apa yang dilakukan para pemimpin itulah yang dinilai masyarakat. Ia berpendapat kualitas pemimpin tercermin dari organisasinya. "Ketika kondisi organisasinya berantakan, kualitas pemimpinnya juga berantakan," ujarnya.
Jika Jokowi hendak mengganti menterinya, Taufik menganjurkan agar pemilihan menteri berdasarkan kapabilitas. Bukan umur, gender, maupun keturunan atau trah.
"Pemimpin itu orang yang menentukan. Dia punya keberanian bilang enggak, punya keberanian bilang iya. Kalau sudah tidak punya kompetensi, mereka jangan diterima jadi menteri," kata Taufik.
(pit/agk)