Polri Nilai Praperadilan Novel Baswedan Tidak Jelas dan Kabur

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Senin, 01 Jun 2015 14:02 WIB
Tidak spesifiknya gugatan praperadilan yang ditujukan dan juga penggunaan akronim yang tidak sesuai membuat langkah Novel di muka sidang terjegal.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan didampingi kuasa hukum tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 Mei 2015. Sidang perdana praperadilan terhadap Polri yang diagendakan hari ini ditunda karena pihak tergugat tidak hadir. 9CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim kuasa hukum Badan Reserse Kriminal Polri menyebut permohonan praperadilan yang diajukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan tidak jelas atau kabur.

Ketidakjelasan tersebut tercantum dalam sejumlah pernyataan dalam materi praperadilan yang telah dibacakan Novel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/6).

"Penyebutan identitas pihak termohon dalam perkara aquo tidak lengkap dan tidak tepat sehingga menyebabkan ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya pihak yang dituju oleh permohonan praperadilan aquo," ujar salah satu kuasa hukum Polri, Joel Baner Tundan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan permohonan praperadilan yang tak disertai tanggal maupun tertanggal 4 Mei 2015, Novel mencantumkan nama pihak termohon 'Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq.

Badan Reserse Kriminal cq. Direktur Tindak Pidana Umum beralamat di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Jakarta Selatan'.

Menurut Joel, penyebutan cq. memiliki arti 'dalam hal ini' atau 'lebih spesifik lagi' dan digunakan untuk menunjukkan hubungan hirarkis.

Namun, penyebutan yang dilakukan Novel dalam permohonan praperadilan dikatakan tidak tepat lantaran memuat sekaligus dua bentuk pihak yang berbeda, yakni jabatan dan bentuk lembaga.

"Jika pemohon ingin menunjukkan susunan hirarkis, seharusnya penyebutannya konsisten yaitu menyebut bentuk jabatan/pejabat seluruhnya atau bentuk lembaga/badan seluruhnya yakni 'Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kepala Badan Reserse Kriminal cq. Direktur Tindak Pidana Umum," ujar Joel.

Selain penyebutan jabatan yang tidak konsisten, pencantuman alamat pihak termohon juga dianggap tidak jelas.

"Faktanya di Indonesia hanya ada satu Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga tidak ada Markas Besar Nomor 1, Nomor 2 atau Nomor 3," ujar Joel.

Pemulihan Nama Baik Institusi

Tim kuasa hukum Polri juga menanggapi permintaan pemulihan nama baik, baik individu maupun institusi, yang diajukan oleh Novel melalui sidang praperadilan ini.

Menurut mereka, permintaan ini menimbulkan kekaburan atas perkara yang sebenarnya menjerat penyidik aktif lembaga antirasuah tersebut.

Joel menjelaskan apabila yang dimaksud Novel dengan kata 'institusi' adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, maka hal itu membuat permohonan praperadilan semakin kabur dan membingungkan.

Pasalnya, Polri tidak pernah menetapkan KPK sebagai tersangka atas pidana tertentu. Penetapan tersangka dilakukan murni ditujukan secara pribadi, meskipun saat ini Novel bekerja sebagai pegawai KPK.

"Pemohon mencoba untuk menyesatkan proses persidangan dengan membuat seolah-olah dirinya adalah personifikasi KPK," ujar Joel.

Atas dasar tersebut, Polri pun melalui kuasa hukumnya meminta hakim praperadilan untuk menolak permohonan yang diajukan Novel.

Novel mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Mei 2015 atas penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh tim penyidik Bareskrim Polri.

Sidang pertama Novel telah digelar pada 25 Mei 2015, namun pihak Polri tidak hadir lantaran masih berdiskusi tentang penyusunan tim kuasa hukum.

Sidang kemudian dilanjutkan hingga 29 Mei 2015 dan masih dipimpin oleh hakim tunggal Zuhairi.


(meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER