Jakarta, CNN Indonesia -- Tim kuasa hukum Badan Reserse Kriminal Polri menyebut permohonan praperadilan yang diajukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan melanggar hukum karena mengandung tuntutan (petitum) yang tidak berlandaskan uraian (posita) mengenai latar belakang, alasan dan dasar hukum.
"Karena praktik praperadilan merujuk pada kaidah Hukum Acara Perdata, maka sudah seharusnya permohonan praperadilan juga mengacu pada kaidah yang mengharuskan petitum yang dituntutkan harus mempunyai landasan dalam positanya," ujar salah satu kuasa hukum Polri, Joel Baner Tundan saat membacakan materi jawaban di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (1/6).
Menurut Joel, aturan ini telah ditegaskan dalam berbagai yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, salah satunya yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1854K/Pdt/1984 tanggal 30 Juli 1987. Dalam putusan tersebut dikatakan apabila suatu tuntutan tidak didukung uraian yang memuat latar belakang, alasan dan dasar hukum, maka gugatan tersebut menjadi tidak jelas atau kabur dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
(Baca Juga: Novel Permasalahkan Surat Penangkapan Polisi yang Kadaluarsa)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Novel melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Mei 2015.
Dalam permohonan tersebut, Novel mencantumkan sejumlah tuntutan di antaranya permintaan pelaksanaan audit kinerja penyidik dalam penanganan kasus dirinya, permintaan agar Polri meminta maaf kepada dirinya dan keluarganya melalui pemasangan baliho sebesar 3x6 meter selama tujuh hari berturut-turut dan permintaan ganti rugi sebesar Rp 1 atas penangkapan dan penahanan terhadap dirinya.
(Lihat Juga: Novel Ungkap Kejanggalan Penyidikan Kasusnya di Persidangan)
Novel ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas kasus penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet hingga tewas pada 2004. Saat itu Novel menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Bengkulu.
Penetapan tersangka Novel dilakukan pada 2012 ketika dia menjadi penyidik utama kasus korupsi yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Djoko Susilo.
Banyak pihak menilai mencuatnya perkara Novel adalah sebagai serangan balik polisi kepada lembaga antirasuah yang menetapkan Djoko sebagai tersangka. Polisi saat itu bahkan sempat menggeruduk gedung KPK untuk menangkap Novel.
Namun, pada 2012 tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus tersebut demi meredakan ketegangan antara kedua institusi penegak hukum.
(utd)