Tiga Kategori Gaya Komunikasi Politik Ahok

Helmi firdaus | CNN Indonesia
Senin, 01 Jun 2015 15:00 WIB
Gaya komunikasi itu membuat Ahok mendapatkan banyak dukungan sekaligus rawan untuk dikultuskan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat (kedua kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai rapat dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (4/3). (ANTARA /Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kondang disapa Ahok menyampaikan teguran terbuka kepada wakil gubernurnya Djarot Syaiful Hidayat soal gelaran Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Senayan. Ahok menyebut  Djarot tidak berhak mengeluarkan izin apapun atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dia bukanlah pasangannya saat Pilkada lalu.

Djarot disebut Ahok dilantiknya atas dasar undang-undang. Karena itu Ahok menyebut meski wakil gubernur, wewenang Djarot yang politisi PDIP itu sama dengan para deputinya. (Baca juga: Ahok Tegur Djarot Soal Izin PRJ Tahun Ini)

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Effendi Ghazali menilai teguran terbuka dengan kesan meremehkan itu adalah gaya personal kepemimpinan mantan Bupatii Belitung Timur itu. “Itu memang gaya komunikasi dia,” kata Effendi saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (1/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Effendi membuat tiga karakteristik dalam gaya komunikasi politik Ahok yang kini tidak menjadi kader partai mana pun setelah keluar dari Gerindra. Pertama, gaya komunikasi Ahok yang menuntut pembuktian terbalik.

Effendi menyontohkan gaya komunikasi itu dilakukan mantan anggota DPR itu ketika dia tengah meneguhkan pentingnya integritas, kejujuran sekaligus untuk menyudutkan lawan bicaranya. “Kalau membahas soal korupsi misalnya. Ahok selalu mengatakan kalau tidak korupsi, tunjukkan dong dari mana penghasilan, apakah sudah bayar pajak dan sebagainya,” tutur Effendi.

Effendi menyebut gaya pembuktian terbalik Ahok ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Hatta, ungkap Effendi, melakukan hal serupa jika dia ingin menekankan sesuatu. (Baca juga; Jawab Teguran Ahok, Djarot Klaim Tak Beri Izin PRJ 2015)

Gaya pembuktian terbalik ini, lanjut Effendi, jadi modal kuat Ahok untuk mendapatkan dukungan publik. Sejauh ini, Ahok dinilai publik sebagai pejabat yang bersih, tidak korupsi, transparan. Pendek kata Ahok dinilai berintegritas. Apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Gaya komunikasi pembuktian terbalik itu terlihat saat Ahok berkonflik dengan DPRD DKI Jakarta soal dana siluman APBD 2016. Saat itu, Ahok mendapatkan banyak dukungan salah satunya karena citra DPRD yang sudah jelek di mata publik.

Dukungan dari publik ini, lanjut Effendi, membawa pada gaya komunikasi kedua Ahok. Ahok merasa, untuk urusan Jakarta, dirinya adalah yang paling tahu. Sebagai gubernur, lanjut Effendi, tidak ada orang Jakarta yang lebih tahu apa persoalan Jakarta dan apa solusinya. Kondisi ini membuat Ahok sulit untuk mendengarkan pendapat atau masukan orang lain.

“Kalau soal Jakarta, Ahok merasa dia paling tahu. Jadi masukan atau pendapat orang lain tidak penting,” paparnya.

Gaya komunikasi Ahok yang ketiga, paparnya adalah gabungan dari dua gaya sebelumnya. Ahok cenderung untuk melontarkan pernyataan secara terang-terangan, cenderung frontal. Jika agak kelewatan, Ahok terkesan meremehkan atau merendahkan lainnya. Terbukti, Ahok pernah menyampaikan perkataan yang tidak pantas dalam sebuah acara televisi yang disiarkan secara langsung.

Padahal, sebut Effendi, setiap orang, terutama pemimpin, harus tahu mana yang bisa disampaikan di publik dan mana yang harus disampaikan dalam ruangan. Kasus teguran Ahok secara terbuka kepada Djarot, adalah ciri gaya komunikasi ketiga Ahok. “Mestinya itu bisa disampaikan dalam pertemuan empat mata. Hasilnya saya kira lebih baik. Tidak dilontarkan di publik begitu,” tuturnya. 

Djarot dinilai Effendi bukanlah dicitrakan publik layaknya DPRD DKI. Djarot dinilainya adalah pejabat yang cukup cakap dan dekat dengan warganya. Djarot juga dinilai bersih karena belum pernah dikaitkan dengan kasus apapun. Dia juga dua kali menjadi Wali Kota Blitar. "Mungkin kali ini Ahok akan mendengarkan," ujarnya.

Effendi menilai bahwa Ahok adalah pejabat yang bagus, tetapi juga memiliki kekurangan. Effendi menyebut, jangan sampai seorang pemimpin itu jatuh menjadi dua hal. Pertama otoriter dan yang kedua dalah dikultuskan. Pemimpin yang otoriter mematikan nyali sedang pemimpin yang dikultuskan mematikan nalar. Dua-duanya disebutnya tidak baik untuk membangun masyarakat yang lebih baik. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER