Jakarta, CNN Indonesia -- Efek domino dari pemberangusan rezim FIFA oleh FBI di bawah kepemimpinan Sepp Blater terkait masalah korupsi sampai juga di Indonesia. Dorongan pembersihan federasi sepakbola kian mengemuka untuk memastikan PSSI tidak melakukan hal yang sama seperti FIFA.
Namun, benturan hukum yang berbeda antara Indonesia dan FBI membuat celah menjerat aktor penyelewengan di tubuh PSSI lebih sulit.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 30 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Tak hanya itu, turunannya adalah suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keterlibatan penyelenggara negara dalam hukum positif kemudian mutlak menjadi salah satu variabel agar pelaku bisa dijerat oleh UU Tipikor. Apakah ia selaku penyuap atau yang disuap dan tindakan korupsi lain, unsur negara perlu ada yang terlibat.
Jika menarik kasus dalam dugaan korupsi di PSSI, hingga kini PSSI berkilah pihaknya tidak masuk dalam objek yang bisa dikenakan hukum positif tipikor.
Direktur Legal PSSI, Aristo Pangaribuan pernah mengatakan PSSI tidak membuka laporan keuangan kepada publik sudah sesuai dengan statuta PSSI. Dalam artian lain, PSSI bukan bagian dari lembaga negara yang diisi pejabat dengan status pegawai negara dan tak memakai APBN.
"Kalau mau, ya statutanya diubah. Selama ini PSSI selalu membuka laporan keuangan kepada anggota melalui kongres. Karena kami mendapatkan dana itu secara swadaya," ujar Aristo saat dihubungi CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
Pengamat hukum Universitas Indonesia Akhiar Salmi menjelaskan menjadi problem serius untuk membongkar praktik korupsi di PSSI, pasalnya PSSI tidak menerima dana APBN yang menjadi unsur tipikor. Selain itu status kepegawaian pengurus PSSI bukan PNS atau pejabat negara.
"Ini jadi problem, pertama ada tidak APBN yang mengalir ke PSSI? Atau status mereka itu pejabat negara, itu baru bisa dijerat tipikor," kata Salmi kepada CNN Indonesia, Kamis (5/6).
Jika kemudian secara hukum PSSI dinilai sebagai pihak swasta, Salmi mengatakan, perlu ada unsur pejabat pemerintah yang terlibat dalam dugaan korupsi, dalam artian PSSI melakukan tindakan korupsi seperti suap menyuap atau gratifikasi kepada pejabat negara.
"Jika PSSI swasta, maka perlu ada pegawai negeri yang terlibat atau lembaga negara, itu baru bisa dijerat," ungkap Salmi. (Baca juga:
Tim Transisi: PSSI Badan Publik, Tapi Pakai Kacamata PT)
Pelanggaran-pelanggaran lain yang kemudian dianggap 'korupsi', seperti dugaan pengaturan skor, penggelapan tiket dan kompensasi hak siar yang dilakukan PSSI adalah bentuk korupsi secara umum yang tidak bisa masuk dalam tipikor. Untuk menjerat dugaan kejahatan tersebut maka UU lain bisa digunakan.
"Itu korupsi juga, aturan skor dan lainnya, tapi itu tidak masuk dalam Tipikor yang harus melibatkan unsur negara. Kejahatan umum misalnya penggelapan pajak, penyelewengan dana perusahaan dan atau pencucian uang dan lain sebagainya."
(Baca juga: Tim Transisi Dalami Bukti Praktik Korupsi PSSI)Tim Transisi PSSI yang dibentuk Menpora sendiri masih mempelajari temuan awal Tim Sembilan terkait dugaan penyimpangan dalam PSSI. Sejumlah isu disorot Tim Transisi, termasuk dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan liga dan permainan skor.
Ketua Tim Transisi Bibit Samad Rianto kepada CNN Indonesia mengatakan, dokumen lebih lengkap mengenai dugaan tersebut hingga kini masih dikumpulkan dan didalami. "Ada beberapa persoalan yang selama ini dianggap boleh, dibiarkan saja, tetapi sekarang mulai ingin kami benahi. Termasuk soal permainan skor itu," kata Bibit.
Selain dua isu itu, Tim Transisi juga menyoroti persoalan dalam hak siar, transparansi pemasukan yang diterima dari kompetisi sepakbola, perpajakan, maupun kelalaian dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang tidak dijalankan antara lain terkait akreditasi keolahragaan dan peraturan anti doping. (Baca juga:
Dugaan Penyimpangan Hak Siar Liga oleh PSSI Disorot)
Korupsi Norma Hukum dan KulturalApa yang terjadi di PSSI sebagai organisasi yang begitu dinanti publik untuk menghadirkan prestasi bagi tim sepak bola Indonesia malah diduga sekarat digerogoti korupsi. Namun, lepasnya pemerintah sebagai penyandang dana, membuat PSSI bebas berkiprah sebagai sebuah badan hukum swasta.
Mengelak sebagai lembaga negara, maka ia 50 persen terhindar dari jeratan UU Tipikor. Jeratan UU antirasuah itu masih bisa disematkan ke PSSI jika yang bersangkutan terbukti melakukan suap menyuap dengan pejabat negara.
Merujuk pada fatwa Nahdatul Ulama (NU) terkait korupsi dalam konsep kultural adalah pengkhianatan jabatan dan suap menyuap, baik berupa
money politic maupun hibah kepada pejabat. Konsep kultural yang disodorkan NU atas korupsi pada dasarnya sama dengan UU Tipikor yang berdasarkan pada penyalahgunaan jabatan demi keuntungan pribadi atau pihak lain.
(Baca juga: KPK Belum Terima Laporan Temuan Dugaan Korupsi PSSI)Jika kemudian faktor kultural menyatakan bentuk korupsi secara umum yang diduga dilakukan PSSI, seperti pengaturan skor, monopoli hak siar dan lainnya maka penjeratannya tidak menggunakan UU Tipikor yang bersifat lebih khusus, terkecuali dugaan kejahatan korupsi itu melibatkan pejabat negara dan duit dari kantong pemerintah.
Dugaan 'korupsi umum' yang dilakukan PSSI, maka penindakannya berdasarkan KUHAP dan tergantung delik aduan dari mereka yang merasa dirugikan seperti tindakan penggelapan atau penipuan. Itu jelas berberda dengan UU Tipikor yang perlu melibatkan unsur pemerintah baik dana maupun aktor (salah satu unsur terpenuhi), tanpa perlu aduan melainkan temuan dari hasil investigasi pemilik otoritas hukum, baik KPK atau Polri.
(pit/hel)