Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meragukan transparansi anggota DPR terkait penggunaan dana program pembangunan daerah pemilihan (Dapil). Jika usulan program itu masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2015, Fitra memprediksi, penggunaan dana aspirasi akan tertutup seperti tradisi anggota dewan selama ini.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Apung Widadi mencontohkan, publik tidak pernah melihat secara kelembagaan pertanggungjawaban setiap anggota dalam pengelolaan dana reses, apalagi dana kunjungan luar negeri.
Menurutnya, Sekretariat Jenderal DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan pun sudah angkat tangan karena sebagian besar anggota DPR tidak akuntabel dalam menggunakan uang negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena tata kelola keuangan belum menjamin, maka anggota DPR dan secara kelembagaan tidak akan siap mengelola dana aspirasi yang besar," ujar Apung saat ditemui pada sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (14/6).
Apung kemudian memaparkan, anggaran dana aspirasi dapat tumpang tindih dengan beberapa alokasi dana bagi anggota dewan. (Baca:
DPR Berkeras Loloskan Dana Aspirasi Lewat Pembentukan Panja)
Apung menyebutkan, setiap bulan wakil rakyat di Senayan mendapatkan tunjangan untuk kepentingan masyarakat sebesar Rp 40,14 juta. Sejumlah uang itu terdiri dari uang pulsa, tunjangan menyerap aspirasi masyarakat serta dua tunjangan yang saling beririsan, yakni tunjangan peningkatan legislasi, anggaran dan pengawasan serta tunjangan pengawasan dan anggaran.
Tak sampai di situ, Apung menuturkan, DPR telah mengalokasikan dana rumah aspriasi dalam APBN 2015. Setiap anggota dewan pun berhak atas alokasi dana senilai Rp 12,5 juta per bulan.
Sementara itu, beberapa kelompok masyarakat sipil berencana mengajukan judicial review terhadap pasal 80 huruf (j) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Peneliti Indonesia Legal Roundtable Erwin Natosmal menyatakan, pasal itu menunjukkan kesesatan berpikir para anggota dewan sebagai legislator. Ia berkata, konstitusi dengan jelas mengatur tiga fungsi DPR yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan.
"Konstitusi memberikan limitasi hak DPR karena mereka punya kewenangan membuat legislasi. Ada potensi penyalahgunaan yang besar. DPR bisa membuat aturan apapun sehingga berpotensi memunculkan konflik kepentingan," katanya.
Apung melanjutkan, pasal 80 huruf (j) itu sebenarnya tidak masuk usulan dalam draf UU MD3. "Mungkin politisi sengaja mengingkari masyarakat dengan memasukkan poin itu secara diam-diam agar tak terjadi penolakan," katanya.
Pasal itu mengatur, anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan pembangunan daerah pemilihan. Atas dasar itu, Badan Legislasi DPR telah membentuk panitia kerja untuk membahas usulan program pengembangan daerah pemilihan lebih lanjut.
Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Indriyanto Seno Adji mendesak DPR menjelaskan dengan transparan mengenai tujuan dari dana aspirasi tersebut.
Hal itu, menurutnya, diperlukan agar DPR bisa menjamin tidak adanya penyelewengan anggaran dari dana yang dikucurkan menggunakan duit negara.
"Jangan sampai dana aspirasi memiliki potensi dan menjadi celah terjadinya korupsi," ujarnya, Kamis (11/6). (Baca:
KPK Peringatkan Rentan Korupsi dari Dana Aspirasi)
Dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang diajukan DPR jumlahnya mencapai Rp 20 miliar per anggota sebagai dana aspirasi daerah pemilihan (Dapil).
Estimasi total dana aspirasi yang dituntut para legislator tersebut mencapai Rp 11,2 triliun dan tengah diupayakan masuk dalam APBN 2016.
(obs)