Jakarta, CNN Indonesia -- Tersangka proyek pengadaan Gardu Induk, Dahlan Iskan, merasa tertekan dengan pengulangan pertanyaan yang disampaikan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait usulan pelaksanaan proyek dengan skema tahun jamak atau multi years.
Menurut Dahlan, skema tahun jamak hanya merupakan sebuah usulan. Dahlan, seperti yang disampaikan oleh kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra, mengharapkan pertanyaan yang relevan dengan statusnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Gardu Induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara periode 2011 hingga 2013.
"Saya belum tahu arah penyidikan ini karena terus menerus yang diajukan dalam pertanyaan berulang-ulang mengapa anda usulkan jadi multiyears," ujar Yusril di Gedung Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (16/6).
(Baca Juga: Kejati Panggil Ulang Dahlan Iskan untuk Kasus Korupsi Gardu)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusril mengatakan dalam usulannya tersebut, Dahlan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak yang menyatakan bahwa ada dispensasi terhadap penggunaan skema tahun jamak untuk alasan tertentu.
Lebih lanjut, Yusril mengatakan skema tahun jamak digunakan untuk mengatasi permasalah Perusahaan Listrik Negara dalam mendapatkan lahan di suatu daerah. Karena selama ini, menurut kliennya proses negosiasi dalam mendapatkan lahan bagi pembangunan Gardu Induk sering terkendala oleh singakatnya batas waktu dan tingginya harga tanah.
(Lihat Juga: Pengacara Dahlan Sebut Pemahaman Penyidik Lemah)
"Jika proyeknya dijadikan multi years, katakanlah 3 tahun, itu negosiasinya agak panjang. Mendapatkan tanah itu lebih mudah dan lebih jelas status hukum tanah itu," ujar Yusril.
Yusril menekankan bahwa persetujuan usulan diajukan kliennya setelah kliennya tidak menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Sehingga, status tersangka terhadap kliennya tidak tepat.
Dalam kasus tersebut Dahlan, yang menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, dinilai menyebabkan mandeknya belasan proyek gardu.
"Uang muka sudah dicairkan, ada juga yang sudah dibayar untuk termin pertama dan kedua. Dari 21 gardu induk yang dibangun, 3 tidak ada kontrak, 5 selesai, dan 13 bermasalah," ujar Kepala Kejati DKI Jakarta Adi Toegarisman usai jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (5/6).
Lebih jauh, dalam mekanisme pembayaran, Dahlan juga dinilai menyalahi aturan. Adi menegaskan, sistem pembayaran seharusnya melalui mekanisme konstruksi alih-alih mekanisme on site atau berdasar pembelian material.
"Pembayaran seharusnya sesuai dengan sejauh mana penyelesaian pekerjaan, bukan berapa material yang dibeli rekanan," katanya.
Selain itu, Dahlan juga dituding merancang pembangunan gardu induk di atas 17 tanah bertuan. Padahal, pembangunan gardu yang memakan waktu tahunan harus dimulai dengan pembebasan lahan.
"Kalau proyek multiyears bisa diizinkan kalau masalah tanah tuntas. Ini tidak. Dari 21 yang dibangun, empat milik PLN sisanya tidak," ujarnya.
Berdasarkan hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan DKI Jakarta, kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan sebesar Rp 33,2 miliar.
Atas kelalaiannya, Dahlan disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam pasal tersebut, bos media ini dinilai telah memperkaya diri sendiri, melawan hukum, dan merugikan negara.
(utd)