Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Koalisi Kawal Anggaran Roy Salam menilai, realisasi anggaran untuk usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi dapat mengganggu sistem pemilihan umum. Menurutnya, jika terwujud, masing-masing anggota dewan sudah punya Rp 80 miliar pada tahun 2019 mendatang.
"Adakah calon yang memiliki minimal Rp 80 miliar untuk menjadi dana politiknya nanti? Saya rasa tidak," ujar Roy di Jakarta, Sabtu (20/6).
Angka Rp 80 miliar tersebut merupakan perhitungan dari pagu sebesar Rp 20 miliar bagi anggota dewan untuk menyerap program aspirasi di daerah pemilihannya setiap tahun. Apabila rencana ini direalisasikan, 560 anggota dewan yang ada saat ini memiliki pagu anggaran Rp 80 miliar untuk empat tahun kedepan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perbandingan, calon kepala daerah untuk pemilihan kepala daerah yang akan secara serentak dilakukan pada 9 Desember 2015 mendatang tidak dapat secara bebas membelanjakan uang untuk membiayai kampanye.
Pembatasan biaya kampanye akan ditetapkan oleh KPU Provinsi dan Kabupaten. Selain itu, KPU juga telah menerapkan batas maksimal penerimaan dana dari pihak lain. Sumbangan individu dibatasi pada angka Rp 50 juta. Sedangkan, pihak swasta dan kelompok dibatasi pada Rp 500 juta.
"Dengan 'dana investasi' Rp 20 miliar per tahun, maka calonnya ya mereka lagi," ujar Roy. (Baca juga:
LSM Demo di Depan DPR Tolak Dana Aspirasi)
Sebelumnya, hal serupa diutarakan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Menurutnya, sistem pemilihan umum yang bersifat proporsional terbuka menjadi satu hal yang mendasari lahirnya UP2DP atau dana aspirasi ini.
Ia meyakini dana aspirasi ini tidak akan lahir apabila pemilu di Indonesia bersifat proporsional tertutup, semua kewenangan dikembalikan ke masing-masing partai politik. (Baca juga:
DPR Klaim Pemerintah Tak Tolak Dana Aspirasi)
"Menurut kami ini merupakan sebuah konsekuensi dari pemilu yang sangat liberal yang kemudian menempatkan seorang anggota dewan mendapatkan suara terbanyak untuk dapat dipilih," ucapnya.
Kendati demikian, hal ini sebelumnya telah dibantah oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo. Menurutnya, pragmatisnya masyarakat Indonesia saat ini tidak akan merusak sistem Pemilu nantinya.
"Ketika diberikan uang transport kan tidak serta merta akan dipilih. Bisa juga enggak dipilih," kata Firman.
(sur)