DPR Sesalkan Pemerintah Tidak Konsisten dalam Revisi UU KPK

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Sabtu, 20 Jun 2015 13:25 WIB
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo menyebut sejak awal pemerintah yang mendesak revisi UU KPK masuk dalam prolegnas prioritas 2015.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (22/9). (CNN Indonesia/Adhi WIcaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- DPR menyayangkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam rencana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo, revisi Undang-undang KPK sudah terlanjur masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2015.

Dengan adanya perubahan sikap pemerintah ini menurutnya akan menganggu jadwal pembahasan revisi yang sebelumnya sudah diatur oleh Baleg. Sebelum revisi Undang-undang KPK masuk ke Prolegnas Prioritas 2015, DPR dan pemerintah menurut Friman punya hutang menyelesaikan sekitar 10 RUU.

Firman melanjutkan, pemaksaan dilakukan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly agar revisi masuk prolegnas prioritas 2015. Oleh karena itu dari sini sudah diketahui siapa yang sebenarnya mendesak agar revisi UU KPK segera dilakukan. "Bukan kami yang mendesak karena kami tidak yakin akan selesai, apalagi revisi Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum selesai," kata Firman saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu (20/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terlihat pemerintah lah yang mendesak (revisi UU KPK)." (Baca juga: Revisi UU KPK Perlu Harmonisasi UU Terkait)

Firman menjelaskan, sebenarnya revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas jangka menengah 2014-2019. Namun, Firman mengatakan masuknya UU KPK ke Prolegnas jangka pendek tersebut tidak berdiri sendiri, karena harus disinkronisasi dengan UU yang lain. UU yang dimaksud Firman adalah revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan revisi UU KUHAP.

Selanjutnya, kata Firman, jika UU KUHP dan KUHAP selesai direvisi maka bukan hanya UU KPK yang akan mengalami revisi, melainkan semua UU yang menjadikan KUHP dan KUHAP sebagai acuan. UU yang Firman maksud di antaranya adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, serta UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

"Jadi revisi UU KPK (yang kami masukkan ke Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019) itu tidak berdiri sendiri," kata Firman. "Revisi UU KPK bisa dilakukan pada 2016 atau 2017 atau 2018, tergantung kapan KUHAP selesai. Namun pemerintah memaksa membahas ini di 2015, bersama dua UU lain, dengan alasan sangat mendesak."

Maka dari itu, Firman pun mendesak agar pemerintah menentukan sikap dalam hal ini. Firman ingin agar pemerintah konsisten dengan keputusan mereka terkait revisi UU KPK serta 10 UU lain yang masuk dalam prioritas 2015.

Rencana melakukan revisi UU KPK selama ini kerap menuai pro dan kontra. Keinginan merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itu terakhir dibahas tahun 2012. Draf revisi UU KPK yang diajukan Komisi Hukum DPR saat itu dinilai melemahkan fungsi lembaga antirasuah. (Baca juga: Demokrat: UU KPK Belum Menjawab Kebutuhan Hukum Kekinian)

Sebut saja draf yang mengatur soal penyadapan dan penuntutan. UU KPK yang ada saat ini memberi kewenangan luas kepada KPK dalam melakukan upaya penyadapan tanpa perlu meminta izin pengadilan dan tanpa menunggu bukti permulaan yang cukup.

Namun dalam draf itu, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dan harus mengantongi bukti permulaan yang cukup. Hanya dalam keadaan mendesak saja penyadapan dapat dilakukan tanpa meminta izin tertulis ketua pengadilan negeri. Frasa "keadaan mendesak" ini tentu saja sangat terbuka untuk diperdebatkan.

Draf itu mendapat penolakan dengan sejumlah argumentasi, di antaranya permintaan izin dapat menyebabkan kebocoran informasi; menimbulkan konflik kepentingan jika penyadapan terkait pemberi izin; dan memperpanjang birokrasi yang justru menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan di KPK.

Sebelumnya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Hal tersebut diputuskan melalui rapat yang dilakukan Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Revisi UU ini sudah masuk ke dalam daftar panjang Prolegnas periode 2015-2019. Namun Yasonna menilai RUU KPK ini perlu dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015 karena UU KPK saat ini dapat menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuk dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan, dan sistem kolektif kolegial," ujar Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/6). (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER