Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) untuk memperberat hukuman para koruptor. Peneliti ICW Aradilla Caesar menilai revisi UU Tipikor harus diprioritaskan untuk membongkar kasus korupsi, alih-alih merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melemahkan lembaga antirasuah.
Arad menilai, UU Tipikor belum dapat menjerat koruptor dengan pidana maksimal hingga saat ini. "Pada Pasal 2 dan Pasal 3, kategori hukuman sangat ringan. Mayoritas dihukum satu hingga emoat tahun. Ini tidak memberatkan. Minimal pidana pada pasal 2 adalah empat tahun, dan pasal 3, enam tahun. Itu minimal," katanya saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Ahad (21/6). Kedua pasal mengatur soal penyelewengan jabatan oleh para penyelenggara negara dan memperkaya diri mereka dari korupsi.
Selain itu, Arad juga mendukung usulan penjatuhan pidana pada koruptor melebihi 20 tahun penjara. Menurutnya, hukuman tersebut dapat dijatuhkan apabila pidana dilakukan saat negara dalam bahaya bencana alam, pengulangan korupsi, dan terbukti lebih dari dua perkara. "Penjatuhan pidana kumulatif diberikan kalau pidananya ada dua perkara," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Arad juga menyarankan penjatuhan pidana tambahan bagi korporasi yang terlibat dalam korupsi. "Diantaranya pencabutan izin usaha, pembubaran korporasi, dan pengambilalihan korporasi sebagaimana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang," ujarnya.
Ia juga mendesak usulan soal penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk para penyelenggara negara, hak untuk mendapatkan remisi, dan hak mendapatkan pembebasan bersyarat. Bagi penyelenggara negara ia juga mendesak penghentian gaji serta tunjangan. "Juga hak untuk mendapatkan dana pensiun dan hak untuk menduduki jabatan pejabat struktural di kalangan pemerintahan," katanya.
Sementara itu, Arad juga mengusulkan poin selain hukuman pidana yakni perluasan makna kerugian negara. "Kerugian tidak hanya bersifat ekonomi namun juga keruguan berupa hilangnya sumber daya alam atau lingkungan ekologis," katanya.
Untuk memangkas waktu penghitungan kerugian tersebut, Arad menilai lembaga lainnya dibutuhkan turut menghitung kerugian. "Penghitungan kerugian negara sebaiknya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau kantor akuntan atau juga intitusi penegak hukum sepanjang yang menghitung adalah orang berkompetensi," ucapnya.
Dengan adanya kebutuhan mendesak tersebut, Arad menilai Presiden Joko Widodo perlu memprioritaskan pembahasan RUU Tipikor dalam Program Legislasi Nasional jangka pendek. "Kami mendorong percepatan pembahasan RUU Tipikor sebagai wujud dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh," katanya.
(hel)