Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membocorkan lobi pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) soal Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini melatarbelakangi masuknya RUU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015, lebih cepat setahun dari yang dijadwalkan.
Yasonna mengatakan negosiasi tersebut bermula ketika pemerintah mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015 yang diajukan untuk mengangkat tiga pelaksana tugas pimpinan lembaga antirasuah. Ada tawar-menawar apabila Perppu ingin segera disahkan oleh parlemen.
"Pada waktu pembahasan Peppu No.1 Tahun 2015 tentang KPK, DPR melalui Komisi III yang ditugaskan membahas Perppu KPK membuat catatan persetujuan untuk segera mengajukan revisi UU KPK. Kalau tidak, DPR tidak menyetujui Perppu," kata Yasonna kepada CNN Indonesia, Senin petang (22/6).
(Baca Juga: Soal Revisi UU KPK, Jusuf Kalla: UUD Saja Bisa Diamandemen)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DPR mendesak RUU KPK dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015. Apabila pemerintah menolak desakan tersebut, DPR pun tak akan mengesahkan Perppu yang kala itu diajukan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM. Sebagai konsekuensinya, pengangkatan Komisioner KPK yang tiga orang itu batal, kalau Perppu KPK tidak disetujui, kata Yasonna.
(Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Tak Kompak Soal Revisi UU KPK)Pada saat itu, tenggat waktu DPR untuk menyetujui Perppu hampir habis. Akhirnya, Yasonna memutuskan untuk menerima lobi.
"Kami terima catatan tersebut. Itu sebabnya, dalam pengajuan revisi Prolegnas, Revisi UU KPK dimasukkan untuk 2015, yang sebelumnya direncanakan 2016," katanya.
(Lihat Juga: Prabowo Sebut Gerindra Masih Pelajari Revisi UU KPK)Yasonna mengatakan sikap pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi aturan tersebut. Alih-alih demikian, inisiatif justru datang dari anggota legislatif. Menurut konstitusi, DPR berhak mengajukan RUU dan nantinya akan dibahas bersama pemerinrah.
"Kalau pada akhirnya DPR mengajukannya Revisi RUU KPK yang merupakan hak konstitusional DPR, maka Presiden dapat menugaskan menteri terkait membahas namun meminta untuk menunda pembahasannya," ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat antara Badan Legislasi DPR bersama dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Yasonna mengatakan UU KPK yang diinisiasi oleh DPR masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015.
"Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuknya dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan dan sistem kolektif kolegial," ujar Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/6).
Sementara itu, pihak KPK sendiri mengkritik usulan dalam revisi UU KPK. Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji tak sepakat soal pemangkasan wewenang KPK untuk menyadap dan menuntut. Hal serupa disampaikan oleh pimpinan lainnya, Johan Budi Sapto Pribowo.
Lebih lanjut, KPK juga tak mendukung soal usulan pemberian kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Menurut keduanya, KPK dapat menumpas korupsi tanpa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Memanasnya isu tersebut memantik Presiden Joko Widodo angkat bicara. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan Jokowi tidak berniat untuk melakukan revisi UU KPK.
"Terkait UU KPK itu adalah inisiatif DPR. Jadi Presiden menegaskan tidak ada niatan untuk melakukan revisi tentang UU KPK," ujar Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (17/6) malam.
Oleh karena revisi tersebut baru merupakan inisiatif DPR, Pratikno mengatakan maka pemerintah tidak bisa melakukan apapun terhadapnya. Ia menjelaskan ada kemungkinan pemerintah nantinya akan diajak DPR membahas bersama terkait hal itu.
"Prosesnya nanti, bukan prosesnya sekarang. Sekarang hanya DPR melakukan inisiatif itu," kata dia.
(utd)