Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pembentukan Komite Rekonsiliasi oleh pemerintah tidak bisa menggantikan peran pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc bagi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Komite Rekonsiliasi tanpa disertai pengadilan HAM Ad Hoc dinilai hanya bentuk pemutihan kejahatan atas HAM berat.
"Mestinya proses rekonsiliasi saling melengkapi dengan pengadilan HAM Ad Hoc. Kalau yang kami lihat yang dibentuk Presiden Jokowi justru mengganti peran pengadilan," kata Wakil Ketua KontraS Krisbiantoro saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (28/5).
Pada Kamis (25/65) lalu, pemerintah diwakilkan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Menkumham Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala BIN Marciano Norman serta Komisioner Komnas HAM Nurkholis telah menghasilkan kesepakatan adanya pembentukan Komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.
(Baca Juga: Jokowi Bentuk Komite Rekonsiliasi untuk Kasus HAM Masa Lalu)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan enam kasus pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan melalui mekanisme Komite Rekonsiliasi. Hal tersebut didasarkan alasan baik Komnas HAM selaku petugas penyelidik maupun Jaksa Agung sedikit mengalami kesulitan dalam mengumpulkan bukti, saksi dan tersangka.
Kris menilai proses rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM berat semestinya dibedakan dari rekonsiliasi kasus-kasus hukum HAM biasa lainnya. Rekonsiliasi HAM berat, katanya, mesti memiliki dasar hukum rekonsiliasi. Lalu, mekanisme rekonsiliasi tidak boleh dilakukan antara korban dengan pejabat tinggi negara yang mengeluarkan komando pelanggaran HAM.
(Lihat Juga: Infografis Kasus HAM Menanti Penegakan Hukum)
"Rekonsiliasi hanya bisa dilakukan antara prajurit, pegawai rendahan, dengan korban. Tidak bisa antara kepala tertinggi penegak hukum dan aparat sipil. Oleh karena itu, harus diselesaikan melalui pengadilan," ujar dia menegaskan.
Lebih jauh lagi, Kris menilai semestinya komite khusus yang dibawahi langsung oleh Jokowi tersebut tidak diinisiasi oleh Kejaksaan Agung ataupun Komnas HAM, yang secara terang-terangan mengaku telah kesulitan menemukan bukti saksi dan tersangka. Komite tersebut, katanya, harus diisi dan diinisiasi oleh pihak independen yang tidak memiliki kepentingan di kedua institusi.
"Untuk komisi independen setingkat Komnas HAM dan bertugas mengalihkan rekonsiliasi periode tertentu. Mekanisme rekonsiliasi juga harus dilakukan dengan adanya pelurusan sejarah," ujar dia.
(Lihat Juga: Keluarga Korban Tragedi Mei 98 Tolak Mekanisme KKR)Mengenai solusi terbaik penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Kris berpendapat ada hal lain yang sebaiknya lebih diutamakan pemerintah alih-alih tertumpu semata-mata pada komite rekonsiliasi. Hal tersebut antara lain pemerintah bisa menerbitkan Keputusan Presiden tentang pencarian orang hilang. Lalu, Presiden juga bisa mengeluarkan Keppres tentang pengakuan atas status korban pelanggaran HAM berat.
"Presiden dan pemerintah juga bisa meminta maaf kepada korban atas nama negara dalam bentuk Keppres HAM masa lalu," kata Kris.
Sebelumnya, pihak Komnas HAM tetap berkukuh bahwa penyelesaian penyelidikan kasus tujuh pelanggaran HAM berat mandek di Kejaksaan Agung.
(Lihat Juga: Komnas: Tujuh Kasus untuk Pengadilan HAM Macet di Kejaksaan)“Untuk pelanggaran HAM masa lalu, Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan atas tujuh kasus yang berkasnya telah disampaikan ke Kejaksaan Agung. Kami bolak-balik sampai 15-16 kali ke Kejaksaan, tapi Kejaksaan tak mau melangkah ke tahap penyidikan,” kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas kepada CNN Indonesia, Kamis (28/5).
(utd)