Pemudik Truk: Kendaraan Kami Paling Hina

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Selasa, 14 Jul 2015 10:40 WIB
Banyak cara dilakukan pemudik untuk sampai di kampung halaman. Selain moda transportasi yang umum digunakan, keluarga Edi mengedarai truk pasir untuk mudik.
Suasana Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), Jawa Barat, Kamis (9/7). (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana)
Jakarta, CNN Indonesia -- Deretan truk berjajar tak jauh dari gerbang Tol Cikopo, Jawa Barat. Saat itu, sepekan sebelum Idul Fitri, langit mulai gelap, waktu berbuka puasa menjelang.
Di samping truk berwarna kuning, sebuah keluarga berbincang hangat menggunakan bahasa Jawa. Mereka juga mempersiapkan hidangan untuk berbuka puasa, mulai dari teh manis, roti, sampai nasi, dan ayam goreng.

Begitu adzan Maghrib berkumandang, tanpa menunggu lama mereka langsung menyantap hidangan. Seolah tidak peduli deru mobil-mobil yang melintas, asap, debu, dan gelapnya keadaan, mereka tampak asyik menikmati.

Edi beserta empat orang anggota keluarganya setiap tahun mudik menggunakan truk pasir. Tinggal di Depok, Jawa Barat, tahun ini dia memilh untuk menggunakan tol Cikopo - Palimanan (Cipali), yang baru diresmikan Juni lalu, untuk pulang ke kampung halaman di Purwokerto, Jawa Tengah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasanya lewat Pantura paling cepat 10 jam sampai sana. Sekarang ada Cipali semoga lebih cepat," kata Edi saat berbincang dengan CNN Indonesia.

Sebenarnya dia dan keluarga bisa saja mudik menggunakan bus ke Purwokerto. Biaya mudik bisa jadi lebih murah dengan menggunakan bus. Namun barang bawaannya terlalu banyak untuk diangkut menggunakan bus.

Edi enggan menyebutkan apa saja barang bawaannya. "Pokoknya banyak," katanya diikuti dengan tawa. Tapi dari bagian belakang truk terlihat menyembul beberapa barang besar seperti kasur pegas dan lemari.

Menurut Amin, putra Edi, kasur pegas itu sekaligus digunakan sebagai penghangat. Kabin truk hanya bisa memuat tiga orang, menyisakan dua anggota keluarga yang terpaksa menumpang di bak belakang.

"Saya di belakang, di bawah kasur enak hangat. Untungnya sekarang sudah bukan musim hujan," katanya.

Bak itu tidak ditutupi apa-apa. Amin hanya tersenyum mendengar pertanyaan mengapa tidak ada terpal untuk menutup anggota keluarga yang tidur di bak serta barang bawaan itu.

Amin sama sekali tidak mengeluh. Dia malah mengatakan lebih suka berbuka puasa di pinggir jalan tol ketimbang di tempat peristirahatan jalan atau rest area. "Lebih enak di sini, ramai-ramai sama yang lain," ujarnya sambil tersenyum.

Namun yang dikatakan Amin berbeda dengan pengakuan sang ayah. "Kami diusir dari rest area. Truk pasir memang kendaraan paling hina," kata Edi.

Menurutnya, truk-truk pasir seperti yang dia gunakan untuk mudik tidak diperbolehkan masuk ke rest area. Dia mengaku berulang kali diusir petugas keamanan tanpa alasan yang jelas.

"Ada juga yang kasar, tapi saya tidak takut," ujarnya.

Edi mengaku sudah sangat mengenal ruas tol Cipali. Dia sehari-hari bekerja mengangkut pasir dari Cikedung ke Depok, tempat dia tinggal.

Selain mengeluhkan perlakuan petugas keamanan, dia juga mengaku seringkali dikenai pungutan liar. Menurutnya, dalam satu kali perjalanan dari Depok ke Cikedung atau sebaliknya, dia bisa ditagih tiga kali pungutan.

"Sekali dicegat Rp 10.000, lumayan kan kalau setiap hari," kata dia. "Beginilah nasib truk pasir."

Untungnya, pungutan liar tidak dikenakan kepada pemudik. Pungutan itu hanya terjadi jika truk membawa pasir. "Tuh lihat teman saya," kata dia sambil menujuk truk lain yang melaju di seberang jalan. "Kalau bawa pasir seperti itu pasti dia kena cegat tadi."

 Dengan begitu, tantangan mudik kali ini hanya ruas Cipali yang dia sebut berbahaya. Jalan tol ini terlalu mulus dan lurus sehingga pengemudi mudah merasa mengantuk.

Dua orang teman Edi sesama pengemudi truk pasir sudah menjadi korban tol ini. Salah satu di antaranya bahkan berujung meninggal dunia. "Kami sesama sopir truk pasir kenal satu sama lain. Saat ada yang kecelakaan atau apa, pasti saling sumbang. Setidaknya Rp 10.000 atau Rp 25.000, semampunya saja," kata dia.

Setelah berbincang, Edi sekeluarga melanjutkan perjalanan. Amin memanjat bak belakang truk untuk kembali meringkuk di balik kasur pegas yang merangkap atap.

Harapan Edi hanya dua: selamat sampai tujuan dan tidak hujan. Jika hujan turun, entah bagaimana nasib putranya yang mesti menumpang bersama barang-barang bawaan di belakang.

Namun alam berkata lain. Selang beberapa saat setelah truk kembali melaju, hujan turun membasahi jalur terpanjang di Indonesia itu. Tak bisa berhenti di tempat peristirahatan, entah di mana truk Edi akhirnya bernaung. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER