Jakarta, CNN Indonesia -- Lima tahanan politik asal Papua yang baru saja dibebaskan meminta bantuan biaya hidup sebesar Rp 2,6 miliar atau sekitar Rp 500 juta per orang. Padahal sebelumnya mereka sudah menerima bantuan sebesar Rp 200 juta per orang dari pemerintah daerah.
Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Lenis Kogoya mengatakan, bantuan Rp 2,6 miliar yang diajukan itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah agar kelimanya bisa kembali mandiri. Pasalnya, lima tapol itu sudah bertahun-tahun hidup di penjara
"Permintaan baru masuk bulan Juli sebesar Rp 2,6 miliar untuk bangun rumah, mobil, kesehatan. Jadi satu kepala bisa Rp 500 juta," kata Lenis yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua ini kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai Staf Khusus Presiden, Lenis mengaku masih terus memperjuangkan dana ini agar bisa disetujui dalam anggaran pemerintah pusat. (Baca juga:
Jokowi Pertimbangkan Beri Grasi 36 Tapol Papua)
Jumlah Rp 500 juta per orang dinilainya tidak berlebihan dan bukan bentuk memanjakan para tahanan politik itu. Ia bahkan menilai pemberian bantuan itu wajar karena para tapol itu sudah bertahun-tahun dipenjara sehingga negara harus memperlakukan mereka dengan baik.
"Hukuman ada yang seumur hidup, ada yang 12 tahun, ada yang sudah 10 tahun di dalam (penjara), jadi pemerintah harus memberikan pelayanan yang baik," kata dia.
Lenis pun berharap uang tersebut nantinya bisa digunakan sebagai modal usaha untuk memulai mata pencaharian baru kelima tapol yang selama ini menggantungkan hidupnya pada keluarga. "Jadi bukan manja. Itu ucapan selamat secara adat. Anda sudah mati, tapi bisa hidup lagi," ujar dia.
Lenis mengungkapkan, sebelum mengajukan biaya hidup senilai Rp 2,6 miliar ini, kelima tapol sebenarnya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat melalui pemerintah daerah sebesar Rp 200 juta untuk biaya kesehatan dan modal bekerja. (Baca juga:
Tapol Papua Hanya Perlu 'Teriak' Grasi kepada Jokowi)
Kendati demikian, Lenis menduga dana tersebut justru dihabiskan kelimanya untuk biaya bepergian kelima tapol itu ke Jakarta dalam rangka bertemu media massa. Bukan tanpa alasan, ia mengaku mendapati tapol yang hadir dalam salah satu acara bincang-bincang di salah satu televisi swasta. Di sana, para tapol tersebut membahas soal hak-hak mereka yang dikorbankan.
Sehari setelahnya, mereka melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) soal daftar kebutuhan tapol yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Mereka juga merasa masih dilupakan pemerintah. Lenis pun menyayangkan hal tersebut, karena memang faktanya bantuan telah diberikan pemerintah kepada mereka berlima.
"Uang Rp 200 juta sudah diterima. Itu Gubernur yang bantu. Fasilitas kesehatan sudah ada, dikatakan tidak ada. Maka itu pembohongan publik," kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima tapol terkait gerakan Papua merdeka yang ditahan di penjara Abepura. Menurutnya, dalam jumpa pers yang digelar usai pemberian grasi di Abepura pada Sabtu (9/5) silam, upaya pengurangan hukuman ini dilakukan sepenuh hati untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua.
Usai menerima grasi dari presiden, kelima tahanan yakni Linus Hiluka, Numbungga, Apotnagolik, Kimanus Wenda dan Yaprai Murib langsung dibebaskan dari penjara Klas IIA Abepura, Jayapura.
(sur)