Jakarta, CNN Indonesia -- Awaluddin M Ahmad (37) tengah menyiapkan semua barang bawaan di ruang tengah rumahnya yang baru saja direnovasi di Perumahan Dukuh Zamrun, Cimuning, Kota Bekasi. Beberapa tas sudah rapi. Tidak lupa dia membawa bantal dan guling kesayangan anaknya yang bungsu, perempuan berumur lima tahun. Dia bersiap untuk mudik ke Lamongan, Jawa Timur, Selasa (12/7).
Ini adalah mudiknya yang ke-14. Sejak pindah ke Bekasi tahun 2000, Comot, begitu dia biasa disapa, selalu mudik tiap tahun. Dia mudik bersama istrinya sejak belum punya anak hingga kini punya ‘buntut’ dua. Anaknya yang tertua, laki-laki sudah berusia 11 tahun.
Comot mudik selalu dengan menggunakan mobil pribadi, sebuah station wagon dan tanpa menyewa sopir. “Saya memang suka nyetir. Dulu cita-cita jadi sopir truk,” kata Comot saat berbincang dengan CNN Indonesia sebelum berangkat. Dia kini bekerja sebagai kepala cabang sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif yang kantor pusatnya di Gresik, Jawa Timur. (Baca juga:
Sejarah Mudik, Batavia, dan Kereta Api)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa alasan mengapa Comot memilih mudik naik mobil pribadi. Pertama, dia bisa mudik sesukanya. Kedua, saat saat di kampung halaman, mobil itu berguna untuk aktivitas silaturahmi keluarga besar. “Saya gak tahan mudik pakai kendaraan umum. Antre tiketnya yang payah. Kalau sendiri mungkin tidak apa-apa,” tuturnya.
Pada mudiknya yang ke-14 ini, Comot dan keluarga akan menempuh jalur pantura. Untuk urusan mudik saja, Comot sudah 26 kali menyusuri jalur pantura. Hitungan ini adalah berangkat dan pulang.
“Kalau pantura, saya relatif hafal,” terangnya lalu terkekeh. Comot menjelaskan, jalur Pantura itu, jalannya bagus hingga Semarang. Tetapi macetnya luar biasa. Lepas Semarang, jalan lebih jelek, bergelombang, tapi sudah lancar tanpa kemacetan berarti. (Baca juga:
Pemudik Truk: Kendaraan Kami Paling Hina)
Comot memilih jalur pantura untuk mudik karena menurutnya lebih hemat waktu. Kontur jalurnya pun landai, tidak berkelok-kelok. “Ini bikin kita tidak bosan,” ungkapnya. Saat awal mudik, perjalanan itu bisa dia tempuh dalam 18-20 jam dengan dua kali istirahat di Cirebon lalu di Tuban.
Sekarang, karena faktor usia, dia bisa tiga kali istirahat. “Istirahatnya bukan sebentar, tapi benar-benar tidur di losmen atau hotel,” ungkapnya. Berkat patuh pada tubuh dengan memberi istirahat jika lelah, selama 26 kali Comot mudik melewati jalur pantura, dia selalu selamat.
Jalur pantura bukan menjadi jalur favorit Comot dan keluarganya saja. Jutaan pemudik juga beranggapan serupa. Sebelumnya, kemacetan selalu terjadi di jalur ini. Kemacetan panjang berjam-jam. Sudah jadi semacam kepastian bahwa jika mudik lewat pantura, maka tahankanlah diri Anda dengan siksaan macetnya.
Tapi tidak demikian dengan Lebaran tahun ini. Kemacetan di jalur pantura tampaknya bakal jadi cerita masa lalu saja. Comot yang pecinta jalur pantura, tahun ini memilih mudik lewat Tol Cipali. Tol yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo 3 Juni lalu itu menjadi tol terpanjang dengan 116,75 kilometer. “Iya, ini aku lewat Tol Cipali. Sudah masuk Tegal. Tol nya sip,” kata Comot melalui pesan pendek.
Comot mengaku penasaran untuk mudik lewat jalan tol ini. “Penasaran, pengen nyoba saja. Banyak kan cerita soal tol ini,” lanjutnya. Salah satu tujuan utama pembangunan Tol Cipali memang untuk memecah kemacetan di jalur pantura. Tujuan itu tampaknya berhasil. (Baca juga:
Keramaian Jakarta Tak Mampu Ganti Kebahagiaan Mudik)
Berdasarkan pantauan detik.com, hingga H-3 Lebaran yang biasanya menjadi arus puncak mudik, kemacetan tidak terjadi di jalur pantura, terutama di wilayah Subang-Indramayu-Cirebon yang selama ini menjadi jalur neraka macet pantura. Jangankan macet berjam-jam. Jalur ini lengang, hanya dilewati oleh sepeda motor. Para pemudik yang memakai sepeda motor memang masih melewati jalur pantura ini. Tentu saja, sepeda motor kan tidak boleh masuk tol.
Lengangnya jalur pantura bukan tanpa persoalan. Kondisi perekonomian di wilayah ini yang biasanya menggeliat karena mudik tak tampak lagi. Anggota Komisi V DPR Daniel Mutaqien Syafiuddin mengatakan sisi ekonomi masyarakat di beberapa daerah Pantura seperti Indramayu dan Subang lumayan terganggu imbas dari Tol Cipali.
Daniel memberikan contoh menurunnya omzet di SPBU di Pantura. Hal itu diketahuinya setelah diberitahukan oleh rekannya, si pemilik SPBU tersebut. "Omzetnya turun 50 persen lebih karena ada Cipali," ujar Daniel, Selasa (14/7). (Baca juga:
Cerita Mudik Nenek Iyem, Pulang untuk Ingat Masa Susah)
Selain itu, ia mengatakan hal serupa juga terjadi bagi pengusaha rumah makan di kawasan Pantura dan sekitarnya. Politikus Golkar ini mengatakan yang sebelumnya rumah makan selalu ramai saat mudik, kini tak tampak lagi. Ini belum lagi para pedagang yang biasanya berjualan saat macet atau para angkutan umum.
Belum ada perhitungan berapa besar dampak ekonomi bagi jalur panturan akibat Tol Cipali selama mudik Lebaran. Tetapi berdasarkan laporan sementara, denyut perekonian memang jauh berkurang di sana selama mudik ini. Jalur pantura adalah jalur yang bersejarah. Jalur ini membentang 1.000 kilometer dari Anyer, Jawa Barat ke Panarukan, Jawa Timur. Jalan ini dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels hanya dalam waktu satu tahun, yakni 1808-1809.
Jalur ini dibangun dengan dua tujuan utama. Memperlancar jalur komunikasi dan sekaligus sebagai benteng untuk menghadapi serang Inggris. Waktu itu Belanda di bawah kekuasaan Perancis yang tengah berperang dengan Inggris. Selain urusan pertahanan, Daendels disebut sebagai pengangum Napoleon Bonaparte.
Karena kepentingan itulah mengapa di tiap 4,5 kilometer dibangun pos pemberhentian sekaligus penghubung pengiriman surat menyurat. Ini pula yang membuat jalur pantura selain dikenal dengan sebutan Jalan Daendels juga dikenal dengan sebutan Jalan Raya Pos. (Baca juga:
Tol Cipali Padat Akibat Antusiasme Pengendara)
Banyak yang menyebut jalur pantura ini dibuat oleh Dandels dengan cara kerja paksa. Tetapi ada pula yang menyebut sebenarnya pembangunan jalan ini bukanlah kerja paksa, tetapi kerja yang dibayar murah. Disebutkan bahwa Dandels membayar para pekerjanya, tetapi uang pembayaran itu dikorupsi oleh kasir-kasir yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran terhadap para pekerjanya.
Salah satu yang tegas menyebut ini sebagai kerja paksa adalah sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Walau bukan buku sejarah resmi, tetapi buku Pram yang berjudul 'Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels’ (1995) umum menjadi rujukan. Buku ini menggambarkan tentang kebiadaban sebagai ongkos sebuah proyek besar.
Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos sebanyak 12 ribu orang, tetapi diyakini bahwa jumlahnya lebih besar dari pada itu.
Dalam pembangunan proyek mega mercusuar itu, Daendels menetapkan target-target. Jika para pekerjanya gagal memenuhi target, mereka dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. (Baca juga:
Pembebasan Lahan Bermasalah, Brimob Bersiaga di Tol Cipali)
Kekejaman yang disebutkan Pram adalah saat Jalan Raya Pos itu sampai di Sumedang. Saat sampai di Cadas Pangeran, para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana. Di sini katanya jumlah korban yang tewas mencapai 5.000 orang.
Saat sampai Semarang, Daendels mencoba menghubungkannya dengan Demak. Kondisi saat itu yang rawa-rawa pantai membuat para pekerja harus mengeruk rawa dan menguruknya kembali. Untuk jalur ini setidaknya tiga ribu nyawa melayang.
Berkat Jalan Raya Pos ini, Anyer-Panarukan yang biasanya ditempuh selama 40 hari, bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh hari. Jalur pantura jadi urat nadi Jawa dan memang menghemat waktu.
Jalur Pantura ini sebagian sudah ditinggalkan pemudik karena Tol Cipali. Tetapi tetap saja, jalur pantura adalah jalur berharga yang menentukan bagaimana tampang Jawa dan mungkin juga Indonesia hingga saat ini.