Jakarta, CNN Indonesia -- Peristiwa pembakaran masjid Tolikara, Papua ketika Hari Raya Idul Fitri pada Jumat (17/7) bukan hanya disebabkan oleh konflik agama. Menurut Zainal Bagir, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut seperti politik lokal, kecemburuan sosial, dan keamanan.
Menurut Zainal, tren politik lokal yang ada di Indonesia bisa dengan mudah memicu konflik. Politik lokal menggunakan simbol agama untuk menciptakan konflik. Dirinya mengatakan konflik yang disebabkan oleh politik lokal terjadi di berbagai daerah tidak hanya terjadi di papua. Dirinya mencontohkan beberapa kasus seperti kasus penyerangan komunitas Syi’ah di Sampang, kasus Gerjea HKBP Filadelfia di Bekasi, dan kasus pembangunan Masjid Nur Musafir di Batulpat, Kupang.
"Politik lokal di Indonesia menyediakan arena untuk konflik misalnya memanipulasi simbol agama," kata Zainal, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Senin (20/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faktor lainnya, menurut Zainal, adanya pendatang yang mempunyai status ekonomi lebih baik memicu kecemburuan sosial bagi warga lokal. Dia juga menambahkan adanya UU Otonomi Khusus Papua menyebabkan ketegangan dan klaim identitas yang dibuat untuk membedakan warga asli dan pendatang.
"Ada pemikiran disana, pendatang itu muslim, meskipun sudah 30 tahun tinggal tetap disebut pendatang," kata Zainal.
Zainal juga menyayangkan tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan yang terjadi di Papua. Menurutnya, banyak konflik yang terjadi di daerah lain. Namun, khusus untuk di papua terlalu sering tindakan represif yang dilakukan.
Di Papua, setiap ada konflik pasti cepat menyebar dan represif. Sering di Papua setiap ada konflik langsung ditembak entah itu peluru kosong atau peluru isi," ujarnya.
Dirinya mengatakan tindakan petugas keamanan bisa menjadi salah satu faktor masalah ketika terjadi konflik di Papua.
Zainal berharap perdamaian di Tolikara bisa terjadi secepatnya. Dirinya mengatakan perdamaian bisa ditempuh melalui hukum adat. Untuk itu, Zainal ingin agar pemerintah mendukung hal tersebut. Zainal juga menjelaskan pemerintah perlu mengedepankan pendekatan dialog kepada semua pihak yang terlibat.
"Untuk penyelesaian secara adat itu sifatnya lokal, caranya berbeda tiap wilayah sehingga masyarakat setempat harus mencari sendiri proses penyelesaiannya dan pemerintah harus mendukung jika memang ada penyelesaian secara adat," kata Zainal.
Dirinya juga mengutip ucapan Pater Neles Tebay, seorang pemimpin Katolik yang dikenal juga sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua. Dalam pernyataannya mengenai insiden di Tolikara, Pater Neles mengungkapkan, “Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah.” Menurut Peter, pembakaran mushala di Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar.
Diberitakan sebelumnya, terjadi serangan terhadap jemaah yang hendak melaksanakan salat Idul Fitri, Jumat (17/7). Penyerangan membuat jemaah Salat Id bubar. Penyerang lantas membakar beberapa bangunan rumah, kios dan rumah ibadah.
Dalam upaya pengamanan, petugas menembak tiga orang pelaku penyerangan yang tidak mengindahkan peringatan petugas. Sejumlah saksi telah diperiksa terkait kebakaran dan penembakan.
(pit/pit)