ICW: 2015 Pemberantasan Korupsi Loyo, Koruptor Divonis Ringan

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 19 Agu 2015 08:19 WIB
Semester pertama 2015 rata-rata koruptor divonis 2 tahun 1 bulan. Dibandingkan tahun sebelumnya, vonis ini terbilang ringan.
Sejumlah aktifis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) memasang baliho dari terpaan angin saat aksi damai di depan Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa, 9 Desember 2014. Aksi yang terkait dengan hari Anti Korupsi Internasional ini merupakan momentum dimana para anggota legislatif yang merupakan representasi partai politik untuk bersatu dan berkomitmen satu, memberantas korupsi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemberantasan korupsi pada tahun 2015 loyo. Salah satu alasannya adalah banyak koruptor yang dituntut dan divonis ringan oleh pengadilan.

Riset ICW pada semester pertama tahun 2015 menunjukkan, rata-rata vonis bagi para koruptor adalah 2 tahun 1 bulan dari total 230 orang yang didakwa korupsi. "Jumlah rata-rata hukuman untuk terdakwa korupsi ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan nilai rata-rata vonis untuk koruptor," ujar peneliti ICW Aradilla Caesar dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (18/8).

Pada semester pertama tahun 2013, rata-rata lama koruptor dijebloskan ke bui adalah 2 tahun 6 bulan sementara pada tahun 2014 yakni 3 tahun 9 bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data tersebut, menurut Arad, menjadi catatan serius untuk para penegak hukum yang mengusut kasus korupsi. Dari seluruh 230 terdakwa korupsi yang sudah diadili, mayoritas justru divonis di bawah empat tahun.

"Kategori ringan adalah 0-4 tahun yaitu sebanyak 193 terdakwa atau 73,94 persen," katanya.

Sementara itu, sebanyak 44 terdakwa (16,85 persen) divonis kategori sedang yaitu 4,1 tahun sampai dengan 10 tahun. Sisanya, hanya sebanyak empat orang yang dijebloskan lebih dari 10 tahun atau masuk dalam kategori berat.

Nihil Pedoman Penuntutan dan Vonis

Menurut Arad, fenomena tersebut terus mencuat dan berulang saban tahunnya lantaran nihilnya pedoman penanganan kasus korupsi untuk aparat penegak hukum. Jaksa tak dibekali pedoman penuntutan sementara hakim tak memiliki rujukan vonis.

"Coraknya sama, ada indikasi dakwaan yang digunakan yakni Pasal 3, ancaman hukuman minimal 1 tahun dan diancam minimal," ujar Arad.

Hal senada diucapkan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Emerson Yuntho. Emerson menjelaskan, hakim lebih suka membuktikan kesalahan terdakwa dengan pasal tersebut.

"Kalau di pengadilan tidak ada pedoman pemidanaan, di kejaksaan tidak ada panduan penuntutan. Jaksa dan hakim menggunakan subyektifitas untuk melakukan tugasnya misal faktor meringankan," kata Emerson.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pihaknya meminta penegak hukum untuk menyusun pedoman tersebut agar ada penyelerasan dalam penegakkan hukum. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER