DPRD Jakarta Tak Bahas Penyimpangan Pengadaan UPS versi BPK

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Selasa, 18 Agu 2015 18:51 WIB
Dalam laporan BPK ditemukan pengadaan UPS tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didukung kebutuhan barang yang memadai.
Ilustrasi UPS. (Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dugaan adanya penyimpangan dalam pengadaan uninterruptable power supply (UPS) ternyata masuk dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dalam laporan tersebut BPK menyatakan pengadaan UPS tidak sesuai ketentuan.

Poin 31 dalam LHP BPK halaman 213 tersebut menyebutkan ada indikasi pemahalan harga pengadaan UPS pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD), Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Menengah Jakarta Barat dan Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Menengah Jakarta Selatan senilai Rp 163,8 miliar.

Dari hasil pemeriksaan terhadap proses perencanaan, pelelangan, dan pelaksanaan atas kegiatan pengadaan UPS di BPAD, Sudin Pendidikan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, BPK menyimpulkan proses penganggaran kegiatan pengadaan UPS di ketiga lembaga tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didukung dengan kebutuhan barang yang memadai.

Lebih lanjut poin itu menyebutkan, tadinya anggaran pengadaan UPS ini tidak masuk ke dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BPAD atau RKA masing-masing sudin. Tapi pada akhirnya dianggarkan ke dalam Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) BPAD dan masing-masing Sudin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penambahan anggaran pengadaan UPS tersebut pada anggaran BPAD dan sudin ternyata berdasarkan hasil pembahasan internal di Komisi E DPRD DKI yang membidangi kesejahteraan rakyat. Pembahasan internal itu pun hanya ditandatangani oleh pimpinan Komisi E DPRD DKI.

Pembahasan yang dilakjkan Komisi E itu pun, dikatakan BPK, tidak melalui mekanisme pembahasan Rancangan APBD (RAPBD) antara DPRD dan Gubernur DKI yang diwakili oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

Tidak hanya itu, BPK juga mencatat spesifikasi rincian UPS mengarah pada produk tertentu. Kegiatan pengadaan UPS katanya tidak hanya menyebutkan anggaran UPS-nya, tapi juga menyebutkan secara rinci spesifikasi jumlah rak kabinet dan jumlah baterai yang diadakan mengarah ke produk tertentu karena setiap barang memiliki jumlah rak kabinet dan jumlah baterai yang berbeda-beda.

Proses pelelangan UPS pun dinilai tidak sesuai. Proses lelang dilakukan sebelum DPPA disahkan. Bahkan BPK menyatakan ada indikasi terjadinya persaingan tidak sehat dalam proses pelelangan, seperti adanya dugaan pembagian grup peserta lelang, adanya harga penawaran yang hampir sama dari peserra lelang dan mendekati nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), serta pola harga penawaran yang hampir sama yang dilakukan oleh peserta lelang dan lain-lain.

Sebelumnya, keterlibatan Komisi E ini sudah pernah disinggung oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Abraham Lunggana. Ia menyebut Ketua Komisi E tidak pernah melaporkan hasil pembahasan rapat kerja anggaran terkait pengadaan alat cetak (printer) dan pindai (scanner) saat dugaan korupsi terjadi kepada dirinya saat itu yang merupakan koordinator di Komisi E yang membidangi masalah pedidikan.

Sebagai koordinator, ia mengaku tidak mengikuti pembahasan dalam rapat kerja anggaran secara rinci karena tidak termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.

"Itu komisi dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), koordinator itu tidak pernah ikut. Saya keluar dari pembahasan itu," kata Lulung, sapaan akrab Abraham Lunggana.

Namun, mekanisme dan hasil pembahasan itu, menurutnya, seharusnya dilaporkan kepada koordinator. "Tugas koordinator ini yaitu menerima laporan, mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan," kata Lulung.

Hanya saja, Menurut Lulung, Ketua Komisi E saat itu justru tidak melaporkannya kepada Lulung. Tapi menurut Lulung, hal tersebut sudah dilaporkan ke pimpinan dewan. Diketahui, saat itu yang menjabat sebagai Ketua Komisi E adalah Firmansyah.

Hingga saat ini Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) hingga saat ini baru menetapkan satu tersangka terkait pengadaan UPS tersebut, yaitu Kepala Sarana dan Prasarana Sudin Pendidikan Menengah Jakarta Selatan Alex Usman. Mereka belum menetapkan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pada pengadaan alat uninterruptble power supply (UPS) di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Pansus DPRD Tak Bahas Temuan UPS

Adanya temuan BPK terkait pengadaan UPS yang dinilai dimark-up sampai Rp 163,8 miliar membuat banyak pihak mempertanyakan mengapa kasus ini tidak menjadi bahasan penting pansus LHP BPK.

Seperti diketahui, pansus LHP BPK hanya membahas enam temuan dari laporan BPK. Salah satunya Sumber Waras.

Dikonfirmasi terkait hal tersebut, Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi mengatakan tidak mungkin ada keterlibatan Komisi E dalam kasus UPS tersebut.

"Tidak mungkin itu. Yang eksekusi siapa, yang bahas siapa. Saya sudah bilang Pak Sani (Ketua Pansus) supaya lurus aja jalanin Pansusnya," kata Prasetio.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik mengatakan tidak perlu temuan itu dibahas oleh pansus karena sudah ditindak secara hukum.

"Sesuatu yang sudah diproses hukum, tidak usah dipansuskan lagi. Bukannya dewan takut terbukti terlibat. Itukan yang dihukum anak buahnya Ahok," kata Taufik. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER