Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polri belum menemukan adanya unsur pidana dalam dugaan kasus penimbunan sapi di Tangerang, Banten. Tiga orang saksi ahli yang dimintai pendapat menilai, jumlah sapi yang disimpan perusahaan di Tangerang belum melebihi ambang batas yang diatur.
Penyimpanan sapi sebagai salah satu sumber bahan kebutuhan pokok diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak menjelaskan, berdasarkan pasal 11 Perpres itu, tindakan penimbunan didefinisikan sebagai penyimpanan barang kebutuhan pokok atau barang penting dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perusahaan yang sempat digerebek petugas menurut Victor memotong secara rutin rata-rata 175 ekor sapi per hari. Oleh karena itu, dalam tiga bulan, perusahaan tersebut memotong sekitar 15.000. (Baca juga:
Polisi Sebut Ada Upaya Timbun Produksi Daging Sapi)
"Kalau jumlahnya plus satu (dari angka tersebut), itu baru disebut penimbun," kata Victor. Sementara itu, jumlah sapi bermasalah yang ditemukan dalam penggerebekan di Tangerang, dua pekan lalu, hanya berjumlah 4.000 ekor.
Karena itu, Victor menganggap perpres yang ditujukan untuk mencegah penimbunan itu justru percuma. Semestinya, kata dia, ada klausul tambahan yang menyatakan pelanggaran terhukum terjadi saat penyimpanan barang pokok itu menimbulkan keresahan di masyarakat.
"Itu yang terjadi sekarang kan, masyarakat resah karena tidak ada daging sapi," kata dia. "Tapi kita tidak bisa memaksakan kehendak, harus patuh peraturan." (Baca juga:
Polri: Edaran APPHI Ingin Intervensi Kebijakan Impor Sapi)
Penyidik sebenarnya telah menyelesaikan pemberkasan para calon tersangka. Namun, ketiga saksi ahli yang diperiksa berkeras menyatakan tidak ada unsur pidana karena jumlah sapi yang disimpan belum melebihi ketentuan.
Meski demikian, Polri enggan menghentikan upaya hukum dalam kasus ini. Setidaknya, kata Victor, institusinya akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi peraturan tersebut. "Kami ingin berikan yang terbaik sehingga harus ada jalan keluar. Paling tidak kami akan buat peraturan itu direvisi."
Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti telah mengeluarkan Maklumat Kapolri tentang Larangan Melakukan Penimbunan atau Penyimpangan Pangan dan Barang Kebutuhan Pokok. Maklumat dikeluarkan untuk mencegah adanya penimbunan kebutuhan pokok seperti daging yang terjadi baru-baru ini.
Maklumat itu ditujukan untuk para pengusaha. "Kami sosialisasikan, mengumumkan kepada pelaku usaha bahwa kalau melakukan perbuatan penimbunan atau penyimpangan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Pangan maupun Undang-undang Perdagangan itu adalah perbuatan pidana, bisa diproses secara hukum," ujarnya. (Baca juga:
Polisi Geledah Lokasi Penggemukan Sapi di Cileungsi)
Dalam dua undang-undang tersebut, kata Badrodin, diatur pula ancaman hukumannya. Oleh karena itu pelaku usaha tidak bisa main-main dalam melakukan usaha.
Ia menegaskan, kepolisian akan tetap mengawasi setelah maklumat ini dikeluarkan. Jika ada pelaku usaha yang masih melakukan penimbunan, maka Polri tak segan untuk memproses secara hukum.
"Jadi pelaku usaha silakan usaha sebagaimana mestinya, tapi dalam kondisi tertentu, misalnya pasokan di pasar kurang dia malah menaikkan harga, atau menahan supaya harganya melambung, atau menyimpan dan menimbun di luar batas ketentuan, tentu itu sudah masuk ke dalam kategori perbuatan pidana," kata dia.
(sur)