Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung tidak mau mengambil alih penanganan perkara dugaan korupsi pembangunan 21 gardu listrik di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang melibatkan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan.
Perkara gardu listrik akan tetap ditangani oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, walaupun mereka sudah kalah di sidang praperadilan melawan Dahlan pada awal Agustus lalu.
"Nggak diambil alih. Mereka (Kejati DKI Jakarta) mampu, Kejaksaan Negeri pun mampu menangani itu. Sedang mereka tangani sekarang," ujar Jaksa Agung Muhammad Prasetyo di Kompleks Kejagung, Jakarta, Jumat (28/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prasetyo, saat ini Kejati DKI Jakarta masih mengumpulkan bukti-bukti baru pada perkara korupsi pengadaan gardu listrik itu. Pengumpulan bukti kembali dilakukan setelah lepasnya status tersangka Dahlan akibat putusan praperadilan yang berlangsung Selasa (4/8) lalu.
Jika bukti-bukti baru sudah terkumpul, terbuka kemungkinan bagi Kejati DKI Jakarta untuk kembali mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) bagi Dahlan. Penerbitan sprindik nantinya akan mempertimbangkan putusan hakim PN Jakarta Selatan dalam sidang praperadilan mantan Direktur Utama PT. PLN itu.
Saat ditemui selepas sidang praperadilan awal Agustus lalu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta Waluyo mengatakan bahwa lembaganya akan terus mengusut kasus korupsi pada proyek pembangunan gardu listrik.
"Kami akan meneliti putusan praperadilan. Kejaksaan tidak akan mundur selangkahpun dalam perkara ini. Kami akan memperbaiki apa yang dianggap salah oleh majelis hakim," kata Waluyo, Selasa (4/8) lalu.
Dalam kasus yang dituduhkan kepadanya, Dahlan sempat disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam pasal tersebut, Dahlan dinilai telah memperkaya diri sendiri, melawan hukum, dan merugikan negara.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta mencatat total kerugian negara akibat kasus ini sebesar Rp 33,2 miliar. Sampai sekarang, telah ada 15 tersangka yang ditetapkan oleh Kejati DKI Jakarta dalam kasus tersebut.
(pit)