Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik akan memberikan keterangan pada sidang pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak memperbolehkan adanya calon tunggal pada pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9).
Sidang yang akan digelar siang ini merupakan peninjauan kembali Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada sidang ini, MK akan menyatukan tiga permohonan yang menguji peraturan yang sama.
Permohonan pertama bernomor 95/PUU-XIII/2015 dan diajukan tiga warga Surabaya, yaitu Aprizaldi, Andri Siswanto dan Alex Andreas. Mereka mengajukan dalil bahwa pasal 49 ayat (9), pasal 50 ayat (9), padal 51 ayat (2), pasal 52 ayat (2), pasal 54 ayat (4) dan ayat (6) bertentangan dengan konstitusi bahkan berpotensi mengakibatkan penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015 gagal.
Permohonan kedua diajukan Wakil Wali Kota Surabaya sekaligus politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Whisnu Sakti Buana. Whisnu yang akan berpasangan dengan wali kota Surabaya petahana, Tri Rismaharini, merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan pasal 121 ayat (1) UU Pilkada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Whisnu juga menggugat pasal 51 ayat (2), pasal 52 ayat (2) dan pasal 122 ayat (1) pada UU Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan revisi pertama UU Pilkada.
Pada sidang yang berlangsung Selasa (1/9) lalu, Whisnu secara terbuka meminta MK untuk mempercepat proses sidang judicial review ini mengingat tahapan pilkada yang terus bergulir.
Dua hari setelah permintaan tersebut dilontarkan Whisnu, KPU tidak meloloskan pasangan bakal calon kepala daerah Kota Surabaya, Rasiyo dan Dhimam Abror karena alasan administratif. Alhasil, KPU setempat kembali membuka pendaftaran meskipun Whisnu sempat mengungkapkan rasa pesimisnya terkait adanya pasangan bakal calon kepala daerah baru.
Permohonan ketiga yang bernomor 100/PUU-XIII/2015 diajukan dua dosen ilmu komunikasi, yaitu Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.
Effendi dan Yayan menganggap UU Pilkada dapat merugikan warga di sebuah daerah yang tidak dapat menyelenggarakan pilkada karena hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah.
(pit)