Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan tidak kunjung dimulainya penyidikan tujuh kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat mengemuka di sidang pengujian Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/9).
Pada persidangan tersebut, majelis hakim memanggil dua lembaga yang memiliki tugas serta kewenangan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, yakni Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Masing-masing lembaga itu melontarkan alasan terhambatnya penyelesaian kasus secara pro yustisia.
Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengatakan sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, lembaganya telah menyelidiki sepuluh kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Tujuh dari sepuluh berkas penyelidikan itu hingga saat ini masih bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejagung dan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuh kasus itu adalah kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; Peristiwa 15 Mei 1998; Tragedi Wasior dan Wamena; kasus penghilangan paksa tahun 1997; kasus Talangsari; kasus penembakan misterius serta Tragedi 1965.
Noor bertutur, Kejagung setidaknya mempersoalkan dua hal yang sama pada tujuh berkas penyelidikan Komnas HAM. (Baca FOKUS:
Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul)
Pertama, Kejagung meminta para penyelidik Komnas HAM mengucapkan sumpah sebelum memulai penyelidikan. Noor heran dengan permintaan tersebut. UU Pengadilan HAM mengatur, yang wajib mengucapkan sumpah sebelum menjalankan tugas pro yustisia adalah penyidik dan jaksa penuntut umum.
Akhirnya, Komnas HAM tidak pernah melaksanakan petunjuk pertama Kejagung itu. "Kalau disumpah, maka penyelidikan harus diulang dari awal," ucap Noor.
Noor mengatakan, Kejagung tidak mempermasalahkan berkas penyelidikan kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura yang telah disidangkan dan mencapai tingkat kasasi.
Padahal, para penyelidik di tiga kasus itu tak mengucapkan sumpah sebelum bekerja. "Ada standar ganda yang digunakan jaksa agung," ujarnya.
Noor menuturkan, lembaganya juga kesulitan memenuhi petunjuk materiil lain yang, yaitu melampirkan berita acara pemeriksaan pelaku. (Baca juga:
Penyelesaian Kasus HAM Berat Tunggu Perpres Jokowi)
"Penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga melanggar aturan pidana. Jadi tugas penyelidik sebatas mencari peristiwa. Konsentrasi difokuskan pada peristiwa dan bukan pelakunya," kata Noor.
Adapun, Komnas HAM tidak dapat memanggil saksi atau pelaku secara paksa tanpa izin pengadilan negeri. Noor berkata, pengadilan negeri tidak pernah menerbitkan surat izin itu.
Lebih dari itu Noor berkata, Komnas HAM tidak dapat memeriksa ahli karena sesuai Pasal 19 (1) huruf g angka 5 pada UU Pengadilan HAM, mereka membutuhkan perintah Kejagung untuk melakukan itu.
Pada sidang yang sama, Kepala Sub Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung, Tugas Utoto, menyatakan sebenarnya Komnas HAM dan institusinya terus berkoordinasi untuk menuntaskan pengusutan. (Baca juga:
KontraS: Belum ada Titik Terang Ihwal Nasib Korban Kasus '65)
"Kami sudah berkoordinasi. Terakhir dua bulan lalu dan kami akan terus berkoordinasi," ungkap Utoto.
Bekas Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro yang baru satu tahun menjadi Kasubdit Pelanggaran HAM berat itu mengatakan, perkara pelanggaran HAM sangat kompleks karena terjadi bertahun silam.
Utoto berkata, pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM tidak terjadi pada periode jabatannya sehingga ia tak dapat mengelaborasi penyebab tertundanya pengusutan kasus.
Pengujian Pasal 20 ayat (3) beserta penjelasannya pada UU Pengadilan HAM diajukan oleh dua orang, Payan Siahaan dan Yati Uryati. Payan kehilangan putranya, Ucok Munandar tahun 1997 silam. Ucok disinyalir merupakan korban penghilangan paksa.
Sementara itu, Yati merupakan ibu dari Eten Karyana. Eten adalah korban tewas pada Tragedi Mei 1998.
(hel)