Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Hukum dan HAM menyatakan program pemerintah untuk merehabilitasi pecandu narkotika harus tetap dilangsungkan. Jika tidak direhabilitasi dan langsung dibui, maka masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) bakal terus berlangsung.
"Sebaiknya pecandu narkoba tidak dimasukan ke lapas atau rutan. Tempat terbaik untuk merehabilitasi pecandu narkoba bukan di lapas atau rutan," kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadiprabowo ketika dihubungi CNN Indonesia, Rabu (9/9).
Pernyataan Akbar menanggapi gagasan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang baru saja dilantik, Komjen Budi Waseso. Budi dalam wawancara dengan awak media melontarkan idenya untuk menghapuskan rehabilitasi. (Baca:
Budi Waseso: Tak Ada Ampun Bagi Bandar Narkoba)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya, banyak para pengedar dapat berdalih dengan payung hukum pecandu atau pemakai agar tak dijebloskan ke penjara. Selain itu, Budi menilai narkotika dapat merusak generasi bangsa dan merugikan negara dua kali lipat lantaran harus membayar biaya rehabilitasi.
Namun, wacana tersebut tak sejalan dengan realita jumlah penghuni yang membeludak di sekitar 450 lapas dan rutan. "Saat ini penghuni lebih dari 172 ribu sementara kapasıtas hanya 119 ribu," kata Akbar.
Dari total angka penghuni, Akbar menyebut jumlah orang yang mendekam di rutan dan lapas untuk kasus narkotika terbilang signifikan yakni sebanyak 28,48 persen, atau 49 ribu.
Padahal, penghuni yang dijebloskan ke bui berasal tak hanya dari narkotika tetapi juga tindak pidana khusus lainnya seperti korupsi dan terorisme serta tindak pidana umum meliputi pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan sebagainya.
Kendati demikian, Akbar melanjutkan, pihaknya sebagai pelaksana akan menahan seorang tersangka apabila BNN dan para penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan menyerahkan orang tersebut. Tentunya, harus disertai alasan yang jelas dan surat yang formal. Aturan mengenai hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Narkotika.
Seperti diketahui sebelumnya, Budi Waseso bersikap kontroversial dengan menginginkan perubahan undang-undang agar tak ada lagi program rehabilitasi. Namun gagasannya menuai kritik termasuk dari bekas Kepala BNN Komjen Anang Iskandar. Menurut Anang, cara penanganan pecandu atau pemakai telah termaktub dalam undang-undang dan harus dijalankan. (Baca:
Evaluasi Kinerja BNN Jadi Kerja Pertama Budi Waseso)
"Mungkin (Budi Waseso) tidak paham. Undang-undang Narkotika ini khusus dan mengesampingkan undang-undang umum seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Anang saat diskusi bertajuk "Penegakan Hukum Tanpa Kegaduhan", di Jakarta, Sabtu (5/9).
Aturan tersebut juga merupakan amanat dari konvensi internasional yang sudah diadopsi oleh Indonesia. Menurutnya, penyalahgunaan harus dicegah, dilindungi, dan dijamin rehabilitasinya. "Saya memfasilitasi ini diimplementasikan karena kalau tidak, dampaknya bisa luar biasa," ujarnya. (Baca:
Menteri Yasonna Temui Budi Waseso Bahas Rehabilitasi Pecandu)
Apabila seorang pengguna narkotika dipenjara dan tidak diobati justru negara akan merugi. Jika tak direhabilitasi, si pengguna tak dapat berhenti mengonsumi dan tergantung dengan narkotika yang disebarluaskan para pengedar.
Selama ini, menurutnya, banyak salah kaprah dalam penerapan pasal penyalahgunaan narkotika. Seorang penyalahguna justru disamakan dengan pengedar alih-alih pemakai. Alhasil mereka dijebloskan ke bui dan tak direhabilitasi di panti.
Merujuk data Kementerian Sosial pada 2014, jumlah panti rehabilitasi yang berada di bawah naungan pemerintah adalah 105 panti. Dua di antaranya dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Sementara lima panti dikelola oleh pemerintah daerah. Sebanyak 98 lainnya dimiliki dan dikelola langsung oleh masyarakat. Dari seluruh panti, kapasitas klien sebanyak 1.725 orang.
Sementara itu, BNN memiliki empat rehabilitasi yang tersebar di beberapa wilayah yakni Panti Lido Sukabumi, Makassar, Samarinda, dan Batam. Total kapaditas panti mencapai 1.000 orang.
(obs)