Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menilai ide penghapusan program rehabilitasi untuk para pengguna narkotik berpotensi meningkatkan jumlah peredaran barang haram itu di dalam penjara. Menurut Amir, gagasan yang dilontarkan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Budi Waseso untuk menghapuskan rehabilitasi tak sejalan dengan undang-undang.
"Kalau tidak direhabilitasi dan berada di dalam penjara, tambah kecanduan, dan belum bisa dijamin steril. Nanti tetap saja sembunyi-sembunyi mengonsumsi narkotika," kata Amir ketika berbincang dengan CNN Indonesia, Rabu (9/9).
Konsekuensinya, bandar narkotika justru diuntungkan dengan permintaan dari para pencandu yang belum juga direhabilitasi. Saat menjabat, Amir bercerita peredaran narkotika masih marak terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal pada masa tersebut, pemerintah gencar mengimplementasikan program rehabilitasi terpadu yang melibatkan sejumlah pihak. Pada masa pimpinannya, Amir tercatat meresmikan 16 lapas khusus narkotika yang juga digunakan untuk merehabilitasi para penghuni, Agustus 2014.
"Saya berharap Kepala BNN, Pak Buwas, kita beri kesempatan mengkaji dan mendalami. Beliau perlu berkomunikasi dengan
stakeholder lain," katanya.
Pemangku kepentingan lain perlu diajak berunding apabila Budi ingin menerapkan gagasan penghapusan rehabilitasi.
Budi Waseso diketahui menginginkan perubahan terhadap undang-undang yang mencantumkan perlu rehabilitasi bagi para pengguna narkotika. Namun Amir mengingatkan Budi soal konfigurasi politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang perlu ditaklukan agar sepaham dengan mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri ini.
“Karena baru, saya kira Pak Buwas perlu mendalami. Itu adalah upaya keras dari pemerintah, TNI, dan BNN berusaha menyukseskan terbentuknya pusat rehabilitasi. Sejalan dengan amanat undang-undang," ujarnya.
Amir mengklaim, lembaga negara tengah bergerilya memerangi narkotika. Pusat rehabilitasi pun dicanangkan di seluruh ibu kota provinsi. Terlebih, Kementerian Sosial telah menginisiasi pembentukan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
etugas IPWL akan bersedia menindaklanjuti laporan dari masyarakat apabila menemukan pecandu narkotika dan perlu direhabilitasi.
Berlindung dengan Payung Hukum?Budi Waseso sempat melontarkan alasan lain untuk menghapuskan program rehabilitasi yakni agar tak ada bandar atau mafia yang berlindung di bawah payung hukum. Menanggapi hal tersebut, Amir tak sependapat.
Justru penilaian terpadu untuk rehabilitasi dapat menjadi satu tahap penyaringan untuk menentukan apakah seseorang termasuk pengedar atau pemakai. Prosedur penilaian dimulai dari pengajuan pihak kepolisian ke BNN terhadap seseorang yang diindikasi menggunakan narkotika.
"Kalau kehawatiran bahwa jangan sampai pengedar berstatus pengguna, di situ diperlukan kepiawaian penyidik untuk sedari awal melakukan
assessment terpadu apakah seseorang itu pengguna atau pengedar," katanya.
Dalam penilaian tersebut, seseorang harus melewati sejumlah tahap seperti psikologi, kejiwaan, medis, dan sosial. Seluruh hasil tes dianalisis dan disimpulkan.
"Kalau ada yang memanfaatkan dan menyalahgunakan, tentu tidak akan lepas dari kewenangan penegak hukum. Jangan sampai pengedar berstatus pengguna," tuturnya.
Merujuk data BNN tahun 2014, dari total target
assessment terpadu sebanyak 160 pengajuan berkas, pihak Kepolisian hanya mengajukan sekitar 80 berkas yang berarti berisi profil 80 pecandu atau hanya 50 persen dari target.
Data Kementerian Sosial tahun 2014, jumlah panti rehabilitasi yang berada di bawah naungan pemerintah adalah 105 panti. Dua di antaranya dikelola langsung pemerintah pusat dan lima panti dikelola pemerintah daerah.
Sebanyak 98 lainnya dimiliki dan dikelola langsung oleh masyarakat. Dari seluruh panti, kapasitas klien sebanyak 1.725 orang.
Sementara itu, BNN memiliki empat rehabilitasi yang tersebar di beberapa wilayah yakni Panti Lido Sukabumi, Makassar, Samarinda dan Batam. Total kapasitas panti mencapai 1.000 orang.
(rdk)