KPK Menyurati Pemerintah Desak Cabut Delik Korupsi di RKUHP

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Senin, 14 Sep 2015 09:43 WIB
Jika tak dicabut, korupsi akan diberlakukan seperti kejahatan biasa dan KPK akan kehilangan kewenangannya.
Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyurati sejumlah lembaga negara untuk mencabut delik korupsi dalam usulan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal September 2015 lalu. Dalam RKUHP, penindakan kasus korupsi dikembalikan wewenangnya kepada dua penegak hukum yakni Kejaksaan dan Kepolisian.

Kepolisian berhak untuk menyidik dan menyelidik sementara Kejaksaan hanya menuntut kasus korupsi. Padahal selama ini, KPK dan Kejaksaan juga melakukan hal yang sama untuk mengusut kasus korupsi.

Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum KPK, menurut undang-undang, diangkat oleh pimpinan komisi antirasuah yang berasal dari unsur Kepolisian, Kejaksaan, dan pegawai negeri. Status mereka adalah pegawai yang dipekerjakan oleh KPK. Konsekuensinya, apabila RKUHP disahkan dan kewenangan KPK dikebiri maka KPK tak akan punya taring untuk mengusut korupsi kelas kakap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tanpa masukan ini, dikuatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus korupsi, ada pelemahan KPK menjadi seperti macan ompong," kata Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji ketika dihubungi CNN Indonesia di Jakarta, Senin (14/9).

Dalam surat yang dilayangkan ke lembaga terkait, Indriyanto menegaskan, delik tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang seharusnya tidak disatukan dalam RKUHP yang memuat tindak pidana umum. Jika disatukan maka tak ada perbedaan penanganan antara korupsi dengan kasus pidana umum lainnya seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lainnya.

Apabila tak dapat dicabut, pemerintah sebaiknya memberikan frasa dalam RKUHP yang menyatakan tindak pidana korupsi dan pencucian uang merupakan tindak pidana khusus. "Kami meminta asas lex specialis pada RKUHP agar menyatakan secara tegas dan jelas bahwa tetap mempertahankan delik-delik tipikor yang tidak berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK," katanya.

Menurutnya, harus ada penegasan bahwa penegak hukum seperti KPK tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi atas delik yang ada didalam RKUHP dan di luar KUHP seperti dalam UU KPK.

Desakan Masyarakat Sipil

Desakan serupa dilontarkan badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter sepakat apabila delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP maka tak ada sifat khusus dalam penanganannya. Alhasil, korupsi disamakan dengan tindak pidana umum lainnya.

"Jika DPR dan pemerintah tetap membahas RKUHP yang memuat juga delik korupsi, maka DPR dan Pemerintah telah inkonsisten dalam menjalankan rencananya sendiri," kata Lola.

Menurutnya, pengaturan delik tindak pidana korupsi perlu tetap dibuat di luar RKUHP. DPR dan pemerintah, menurutnya, perlu membahas dan memperbaiki UU Tindak Pidana Korupsi terlebih dulu baru kemudian membahas RKUHP.

"Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan manakala delik korupsi diatur dalam RKUHP," katanya.

Dalam RKUHP, delik korupsi tak lagi bermakna tindak pidana khusus dengan menghilangkan frasa 'kejahatan luar biasa'. Alhasil, penangannya akan serupa laiknya kejahatan umum.

"Kewenangan-kewenangan dan penanganan luar biasa sebagaimana yang kini dimiliki oleh KPK, tidak dapat lagi diterapkan," ujarnya.

Kewenangan tersebut meliputi penyelidikan dan penyidikan. Jika diterapkan aturan yang sama dalam RKUHP maka KPK tak lagi berwenang untuk menangani kasus korupsi. Alhasil, KPK hanya menjalankan tugas pencegahan korupsi.

Di satu sisi, perubahan dan menambahkan unsur pengecualian untuk tiap tindak pidana akan menyulitkan kerja lembaga negara yang memiliki mandat khusus, tak hanya KPK tetapi juga lembaga negara lain. Lembaga lain tersebut seperti Badan Narkotika Nasional untuk kasus narkotika dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk transaksi mencurigakan.

Merujuk pasal 779 dan pasal 780 RKUHP, sejak RKUHP diberlakukan, seluruh tindak pidana yang diatur dalam peraturan di luar RKUHP akan menjadi bagian RKUHP. "Artinya, setiap undang-undang pidana yang muncul kemudian, akan menjadi bagian tidak terlepas dari RUU KUHP, selama hal tersebut tidak diatur dalam RUU KUHP. Jika sudah ada pengaturannya dalam RKUHP, maka pasal pidana dalam RKUHP lah yang akan digunakan sebagai dasar," katanya. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER