Jakarta, CNN Indonesia -- Saksi sidang kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Morotai membocorkan lobi politik antara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dengan Bupati nonaktif Morotai Rusli Sibua. Saksi yang dihadirkan dalam sidang yakni pengacara Rusli, Sahrin Hamid.
Kasus suap bermula saat Rusli menolak keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Kabupaten Morotai yang menetapkan rivalnya, Arsad Sardan dan Demianus Ice, sebagai pemenang. Rusli melalui pengacaranya, Sahrin, mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke MK. Rusli ingin MK membatalkan putusan KPU dan menyatakan dirinya sebagai pemenang dan menjadi Bupati Morotai.
Sahrin bercerita, ia sempat mengirim pesan pendek melalui telepon selulernya (ponsel) kepada Akil saat pengajuan gugatan pada medio 2011. Sahrin dan Akil saling mengenal sejak tahun 2007 ketika menjadi anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat itu, Akil menjadi anggota dari Fraksi Golkar sementara Sahrin adalah Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemanan mereka pun dimanfaatkan saat Sahrin beracara di MK. Sementara itu, Akil merupakan salah satu hakim yang menyidang kasus tersebut.
"Saya sampaikan, 'Pak Akil, Pilkada Morotai dimanipulasi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Padahal yang menang adalah Pak Rusli'. Saya SMS tapi tidak ada balasan," kata Sahrin di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/9), saat bersaksi untuk Rusli.
Selang 14 hari sebelum sidang pembacaan putusan, Akil menghubungi Rusli. Ia menanyakan perihal perkara yang ditangani.
Sahrin mengklaim berkali-kali diteror oleh Akil untuk menyerahkan duit. Duit digunakan untuk memuluskan sengketa Morotai yang diajukan Sahrin.
"Saat menunggu putusan (gugatan di MK), Pak Akil menelepon terus dan menanyakan uang. Awalnya minta Rp 6 miliar," ujar Sahrin.
Sahrin tak langsung menyetujui. Ia berkonsultasi dengan kliennya yang juga didukung oleh PAN. Konsultasi dilakukan di Hotel Borobudur, Jakarta, sekitar bulan Juni 2011. Sahrin bertemu Rusli dan mantan Pelaksana Tugas Ketua KPU Daerah Maluku Utara Muchlis Tapi Tapi.
"Saya sampaikan, Pak Akil minta Rp 6 miliar. Saya bilang intinya tidak perlu karena kita menang sesuai fakta persidangan. Tapi Muchlis mengatakan itu hal yang biasa dan sudah pernah terjadi," kata Sahrin.
Ketiganya pun masih bercakap untuk mencari jalan tengah. Setelah ditimbang, Rusli justru menyanggupi untuk menyerahkan duit. Namun, ia hanya bisa menyetorkan Rp 3 miliar.
Selanjutnya, Akil kembali menelepon Sahrin dan meminta dirinya menyerahkan langsung duit suap ke kantornya. "Pak Akil menelepon terus dan ada ancaman. Secara tidak langsung ada ancaman akan kalah (gugatan ke MK)," kata Sahrin.
Sahrin enggan mendatangi kantor Akil di kawasan Jakarta Pusat. Akil pun menelepon Sahrin dan meminta duit ditransfer ke rekening perusahaan CV Ratu Samagat milik istrinya bernama Ratu Rita.
"Pak Akil menelepon dan mengatakan langsung nomor rekeningnya," kata Sahrin.
Penyetoran pun dilakukan pertama kali pada tanggal 16 Juni 2011 sebesar Rp 500 juta atas nama penyetor M Djuffry. Djuffry adalah politikus PAN Maluku Utara sekaligus Direktur Utama PT Manggala Rimba Sejahtera. Pada tanggal yang sama, Muchlis Tapi Tapi juga mentransfer duit sebesar Rp 500 juta. Kemudian pada tanggal 20 Juni 2011, duit sebesar Rp 1,98 miliar dikirimkan oleh M Djuffry.
Setelah duit diserahkan, pada persidangan tanggal 20 Juni 2011, perkara permohonan keberatan
Pilkada Nomor: 59/PHPU.D-IX/2011 yang digugat Rusli dan pasangannya, Weni R Paraisu, diputus oleh majelis dengan mengesahkan keduanya sebagai pemenang. MK membatalkan berita acara KPUD Kabupaten Morotai yang memenangkan Arsad Sardan dan Demianus Ice.
Dalam putusan MK, Rusli disebut meraup suara sebanyak 11.384. Sementara rivalnya jauh tertinggal. Mereka adalah Arsad Sardan dan Demianus Ice yang memperoleh 7.102 suara, Umar H. Hasan dan W. Sepnath Pinoa yang mengantongi 5.931 suara, Faisal Tjan dan Lukman SY. Badjak yang mendapatkan 751 suara, Decky Sibua dan Maat Pono dengan 316 suara, serta pasangan Anghany Tanjung dan Arsyad Haya dengan 7.062 suara.
Atas tindak pidana tersebut, Rusli disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Menanggapi lobi politik, Rusli menyangkalnya. "Tidak pernah ada lobi dari uang Rp 6 miliar ke Rp 3 miliar. Itu uang yang sangat besar. Biasanya saya yang urus sendiri," kata Rusli saat sidang.
(hel)