Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso berkeras akan tetap mengevaluasi peraturan terkait rehabilitasi pengguna narkotik, meski sudah ditentang oleh Kementerian Hukum dan HAM.
"Tidaklah, harus dilihat mana yang lebih penting. Penegakan hukum tujuannya membuat jera supaya tidak mengulang atau menular kepada yang lain," ujarnya di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (14/9).
Meski demikian, Budi mengatakan, bukan berarti rehabilitasi tidak diperlukan. Hanya saja, meski tidak merinci, Budi menyebut ada beberapa celah dalam perundangan yang ada sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kala ada yang belum memadai atau harus penyesuaian, ya kami lakukan penyesuaian. Tidak ada masalah, kan semua untuk kebaikan," kata Budi.
Untuk itu, Budi akan secepatnya berkoordinasi secara intensif dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Saat ini, pihaknya masih dalam proses evaluasi dan penyusunan draft peraturan yang baru.
"Kalau bisa hari ini, kenapa harus menunggu besok," kata Budi saat ditanya kapan rancangan itu selesai. "Hasilnya nanti saya serahkan ke DPR."
Sebelumnya, Kemenkumham menyatakan program pemerintah untuk merehabilitasi pecandu narkotika harus tetap dilangsungkan. Jika tidak direhabilitasi dan langsung dibui, maka masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan) bakal terus berlangsung.
"Sebaiknya pecandu narkoba tidak dimasukan ke lapas atau rutan. Tempat terbaik untuk merehabilitasi pecandu narkoba bukan di lapas atau rutan," kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadiprabowo ketika dihubungi CNN Indonesia.
Wacana Budi untuk menghapuskan rehabilitasi tak sejalan dengan realitas jumlah penghuni yang membeludak di sekitar 450 lapas dan rutan. "Saat ini penghuni lebih dari 172 ribu sementara kapasitas hanya 119 ribu," kata Akbar.
Dari total angka penghuni, Akbar menyebut jumlah orang yang mendekam di rutan dan lapas untuk kasus narkotika terbilang signifikan yakni sebanyak 28,48 persen, atau 49 ribu.
Padahal, penghuni yang dijebloskan ke bui berasal tak hanya dari narkotika tetapi juga tindak pidana khusus lainnya seperti korupsi dan terorisme serta tindak pidana umum meliputi pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan sebagainya.
Merujuk data Kementerian Sosial pada 2014, jumlah panti rehabilitasi yang berada di bawah naungan pemerintah adalah 105 panti. Dua di antaranya dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Sementara lima panti dikelola oleh pemerintah daerah. Sebanyak 98 lainnya dimiliki dan dikelola langsung oleh masyarakat. Dari seluruh panti, kapasitas klien sebanyak 1.725 orang.
Sementara itu, BNN memiliki empat rehabilitasi yang tersebar di beberapa wilayah yakni Panti Lido Sukabumi, Makassar, Samarinda, dan Batam. Total kapasitas panti mencapai 1.000 orang.
(sip)