Komisi Hukum DPR Prioritaskan Rehabilitasi Ketimbang Pidana

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Kamis, 10 Sep 2015 14:43 WIB
Prioritas penegakan hukum pidana terhadap para pengguna narkoba bakal mempengaruhi ketersediaan lapas yang saat ini sudah over kapasitas.
Mensos Khofifah Indar berbincang dengan penghuni panti saat mengunjungi Panti Rehabilitasi Sosial Eks Psikotik di Kediri, Jatim, Minggu (6/9).(ANTARA FOTO/Prasetia F)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani menilai rehabilitasi terhadap pengguna narkoba memiliki peranan penting dalam penegakan hukum. Rehabilitasi dianggap sebagai penanggulangan hukum yang perlu menjadi prioritas.

Pasalnya, prioritas penegakan hukum pidana terhadap para pengguna narkoba bakal mempengaruhi ketersediaan lembaga pemasyarakatan yang saat ini sudah over kapasitas. Arsul mencatat, hingga kuartal pertama tahun ini, jumlah kelebihan penghuni lapas di Indonesia mencapai lebih dari 160 ribu orang.

"Kalau semuanya dipenjarakan, makin tidak muat lapas kita," ujar Arsul di Gedung DPR, Kamis (10/9). (Baca: BNN: 943 Ribu Pengguna Narkotik Kronis Harus Direhabilitasi)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penilaian Arsul tersebut menanggapi keinginan Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Pol Budi Waseso yang lebih mengutamakan penegakan hukum dalam bentuk pidana ketimbang rehabilitasi. Dalam hal ini, Arsul tetap menaruh rasa hormat terhadap kebijakan yang diwacanakan oleh sang jenderal.

"Saya memahaminya seperti ini, Pak Buwas sedang mengirim pesan keras kepada para pengguna, pengedar, dan bandar narkoba. Itu saja," ujar Arsul.

Bagaimanapun, kata Arsul, rehabilitasi bukan berarti tidak mengandung unsur program penegakan hukum sama sekali. Sebab Arsul menilai tindakan pemenjaraan tidak menjamin pengguna sembuh dari candu ataupun mengalami efek jera.

Solusi penanganan rehabilitasi menjadi pertimbangan anggota dewan yang nantinya bakal dikaji dalam revisi undang-undang KUHP. Dalam kajian peraturan tersebut, kata Arsul, ada pasal yang mengatur soal pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.

Penerapan pasal itu nantinya bisa menjadi pertimbangan bagi penegak hukum terhadap pengguna narkoba. Selain rehabilitasi yang bersifat pengawasan, kata Arsul, hukuman kerja sosial bisa juga diandalkan sebagai alternatif hukuman bagi para pengguna narkoba.

"Kalau misalnya pengguna itu menjalani rehabilitasi sambil bekerja sosial, misalnya disuruh sapu jalanan pakai baju tahanan, itu kan juga bisa diterapkan," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Dalam RAPBN 2015, kata Arsul, sedikitnya ada duit Rp 400 miliar yang dialokasikan untuk pembangunan pusat rehabilitasi sebagai bagian dari program rehab 100 ribu pengguna narkoba. Namun karena usulan itu masih tergolong masuk kategori baru, pihak parlemen masih mengkaji efektivitas pemanfaatannya. (Baca: Budi Waseso Undang Berbagai Pihak untuk Evaluasi Rehabilitasi)

Menurut Arsul, efektivitas itu bisa diwujudkan melalui kerja sama yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi dengan pihak swasta. Dalam artian, jika kapasitas pusat rehabilitasi yang menjadi kendala, panti rehab bisa menyiasatinya dengan mengadakan program rehab di luar panti.

"Misalnya di pesantren ada satu bagian pusat rehab, biarkan pengguna nyantri di sana. Kalau dia kabur, baru dia dimasukan ke penjara," kata Arsul. (obs/obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER