Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Muhammad Yunus, mengatakan belum ada penetapan tersangka terkait perkara pembakaran hutan di Riau dan Jambi. Pihaknya masih mengumpulkan bahan dan keterangan dari berbagai sumber.
"Belum kami lakukan penetapan tersangka," kata Yunus di ruang kerjanya, Jakarta, Senin (14/9).
Tahun ini, terdapat 24 lahan yang terbakar. Namun, kata Yunus, tidak seluruhnya dimiliki perusahaan. Ada pula lahan milik masyarakat. Semua lahan itu disegel karena lahannya terbakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus mengatakan, Kementerian Kehutanan telah memasang plang penyegelan di 24 titik api. Penyegelan itu dalam rangka melindungi barang bukti agar tidak rusak atau hilang. Pengumpulan bahan dan keterangan, dilakukan agar kasus pembakaran hutan dan lahan menjadi jelas. Sehingga penetapan tersangka bisa dilakukan.
"Keterangan ini digali. Setelah Riau dan Jambi, kami lakukan ke beberapa tempat," katanya
Barang bukti kasus kebakaran yang telah dikumpulkan tersebut, dijadikan sampel untuk diperiksa di laboratorium. Hasil laboratorium itu kemudian dibaca oleh ahli dan dijadikan keterangan untuk dimasukkan ke dalam berita acara pemeriksaan.
"Enggak bisa tiba-tiba ditetapkan tersangka. Karena penetapan tersangka harus dengan dasar yang kuat," kata Yunus. Dasar penetapan tersangka, menurutnya, minimal ada dua alat bukti yang sah. Yunus menambahkan, prosesnya saat ini baru sampai tahap pengumpulan bahan dan keterangan.
Selama ini, menurut Yunus, masih banyak perusahaan yang melanggar aturan tata cara membuka lahan yang baik dan benar. Padahal aturan itu sudah ada. Bahkan, menurutnya, pihak kementerian telah melakukan pembinaan berkali-kali. Kenyataannya, kebakaran hutan dan lahan tetap terjadi hingga kini.
"Setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan. Berarti (aturan) tidak diikuti. Kalau diikuti, gak ada yang seperti ini. Tidak elegan, mau membuka usaha tapi menyusahkan orang lain," ujar Yunus.
Yunus mengaku, pihaknya tidak akan tebang pilih dalam mengambil tindakan hukum. Baik perusahaan dalam negeri maupun asing yang terjerat pelanggaran hukum, tetap akan memperoleh sanksi pidana yang sama.
Tuntutan pidana yang diajukan, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009, berlaku untuk umum. Minimal 5 tahun penjara dan denda 5 milyar, maksimal 10 tahun penjara dan denda 10 milyar. Meski begitu, putusan pidana diserahkan di meja persidangan.
Sebelumnya, ada beberapa kasus pembakaran hutan dan lahan yang telah ditangani di persidangan. PT Kallista Alam terbukti melakukan pembakaran hutan di Aceh dan divonis denda Rp 366 miliar.
Selain itu, Majelis hakim Pengadilan Negeri Balige, Sumatera Utara, memvonis PT Gorda Duma Sari karena terbukti melanggar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Hutan Tele, Samosir. Direktur PT GDS, Jonni Sihotang, divonis 4,6 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Sementara, Asisten Kepala Kebun perusahaan sawit, PT Jatim Jaya Perkasa divonis melakukan pembakaran lahan di Riau.
(sip)